Jakarta, Harian Umum - Gerakan Sehat Untuk Rakyat Indonesia menolak dengan tegas pelepasan ribuan nyamuk Aedes Aegypti yang telah disuntik dengan bakteri Wolbachia, di Jakarta Barat pada awal Desember 2023.
Pelepasan ribuan nyamuk yang masih dalam tahap penelitian itu bertujuan untuk menekan berjangkitnya penyakit demam berdara dengue (DBD) yang disebabkan nyamuk Aedes Aegypti.
Pernyataan penolakan itu disampaikan dalam konferensi pers bertajuk Salus Populi Suprema Lex Estu, Tolak Penyebaran Nyamuk Berwolbachia di Jakarta", Sabtu (26/11/2023).
Konferensi Pers yang diselenggarakan di wilayah Ciputat, Tangerang, tersebut menghadirkan empat narasumber, yakni epidemiolog Tifauzia Tyassuma, ilmuwan Kun Wardana Abyoto, Komjen Pol Dharma Pongrekun, dan Ketua Presidium Forum Negarawan Eko Sriyanto Galgendu.
Komjen Dharma mengatakan, pihaknya menolak penyebaran nyamuk ber-Wolbachia di Jakarta Barat, karena berbahaya. Sebab, penyebaran nyamuk yang telah mengalami rekayasa genetik itu selain dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi masyarakat, juga bisa mengganggu keseimbangan lingkungan.
"Penyebaran nyamuk itu merupakan hasil kerjasama Kementerian Kesehatan dengan World Mosquito Programme," katanya.
Komjen Dharma menyebut, program ini merupakan rangkaian dari sekelompok orang yang bertuhankan uang dengan tujuan melakukan depopulasi terhadap penduduk dunia, karena penyebaran nyamuk itu juga dilakukan di beberapa negara yang lain, termasuk Sri Lanka, dan untuk kepentingan bisnis vaksin.
"Jadi, sama seperti pandemi Covid-19. Setelah banyak korban, mereka menjual vaksinnya," kata dia.
Soal gangguan lingkungan akibat penyebaran nyamuk ber-Wolbachia dipaparkan Kun dan Tifauzia.
Kun menjelaskan bahwa nyamuk Aedes Aegypti memiliki sekutu yang bernama nyamuk Culex. Jika keberadaan nyamuk Aedes Aegypti ditekan, maka akan terjadi ledakan nyamuk Culex, dan nyamuk itu merupakan penyebab penyakit Japanese Encephalitis atau radang otak.
"Itu sebabnya di Yogyakarta, di mana nyamuk ber-Wolbachia telah disebar, muncul kasus radang otak pada seorang anak," katanya.
Kun juga menjelaskan bahaya lainnya, yaitu nyamuk yang telah disuntik bakteri Wolbachia akan kawin dengan nyamuk ber-Wolbachia yang lain. Karena nyamuk-nyamuk ini merupakan nyamuk hasil rekayasa genetik, maka akan muncul spesies nyamuk baru.
"Apakah spesies baru itu lebih berbahay, belum dapat diprediksi, tetapi di Texas, Florida dan Italia di mana nyamuk ber-Wolbachia telah disebar, ditemukan spesies baru dengan moncong lebih panjang dan ekor lebih panjang," katanya
Tifauzia menyampaikan bahwa yang lain. Dia.mengatakan, virus dengue yang menjadi penyebab demam berdarah, saat ini memang lebih cocok menjadikan Aedes Aegypti sebagai induk semangnya.
"Tapi ketika di tubuh nyamuk Aedes Aegypti terdapat bakteri Wolbachia, virus itu bisa saja berpindah ke spesies nyamuk yang lain, karena di Indonesia ada 400 spesies nyamuk," katanya.
Ia menegaskan bahwa program memberantas DBD dengan nyamuk ber-Wolbachia sebenarnya tidak perlu, karena Indonesia DBD di Indonesia sudah sangat terkendali, karena pada tahun 1968, case fatality rate (SCR) mencapai 41%, tapi saat ini hanya 0,6%.
Eko Sriyanto Galgendu yang merupakan warga Jakarta Barat, dengan tegas menolak penyebaran nyamuk ber-Wolbachia di wilayah tempat tinggalnya.
"Saya sebagai pengusaha, juga teman-teman pengusaha yang lain, belum pulih benar dari hantaman pandemi Covid-19, dan sekarang kita akan dihadapkan oleh masalah yang ditimbulkan oleh nyamuk," katanya.
Meski demikian, dia mengatakan kalau ia bersyukur karena Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono telah menyatakan menunda penyebaran nyamuk ber-Wolbachia untuk sosialisasi, tetapi ia juga berharap agar Pj Gubernur meminta saran kepada Panglima TNI dan Menteri Pertahanan karena nyamuk yang disebarkan itu bisa menjadi bioterorisme dan merupakan perang asimetris. (rhm)