Jakarta, Harian Umum- Pengamat Kebijakan Publik Amir Hamzah menduga ada kongkalikong antara oknum yang satuan kerja perangkat daerah (SKPD) -nya tergabung dalam Tim Terpadu Penertiban Penyelenggaraan Reklame, dengan pengusaha, sehingga kinerja Tim ini terlihat setengah hati dan tidak serius.
Pasalnya, meski saat rapat pada 13 November 2018 di Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan telah diputuskan bahwa semua reklame bermasalah yang belum mendapat surat peringatan (SP) dari Satpol PP akan disegel dengan dipasangi stiker sanksi, termasuk yang berada di jembatan penyeberangan orang (JPO) Jalan MH Thamrin - Sudirman, di perempatan Harmoni dan di halaman Gedung The Tower City, Jakarta Pusat, namun yang telah dipasangi stiker pada Senin (19/11/2018) hanya yang berada di JPO Thamrin-Sudirman.
Hingga Selasa (20/11/2018), dua titik reklame videotron di perempatan Harmoni dan dua titik reklame videotron di halaman Gedung The Tower City masih bersih dari stiker yang terbuat dari kain dan berwarna oranye-kuning itu.
"Tim masih menunggu kejelasan status reklame itu dari PTSP (Pusat Pelayanan Terpadu Satu Pintu)," kata seorang anggota tim yang enggan disebut namanya.
Pada 6 November 2018, Kepala Dinas Penanaman Modal (DPM)-PTSP Edy Junaedi mengatakan bahwa semua reklame ilegal di Jakarta akan ditertibkan, setelah penertiban 60 reklame ilegal di Kawasan Kendali Ketat tuntas, termasuk reklame-reklame yang berada di perempatan Harmoni.
Edy bahkan mengatakan bahwa untuk dua titik reklame di Harmoni yang diketahui merupakan milik PT Warna Warni Media (WWM) dan PT Kharisma Karya Lestari (KKL), pihaknya akan mengirimkan surat klarifikasi tentang perizinan kedua titik reklame tersebut agar dapat dibongkar Tim Terpadu Penertiban Penyelenggaraan Reklame.
Sebelumnya, pada 23 Maret 2018, kedua titik reklame di Harmoni tersebut telah mendapat SP-3 dari Satpol PP DKI Jakarta, dan pada 19 April 2018 dibongkar sendiri oleh pemiliknya, namun tidak tuntas.
Sekitar sebulan kemudian atau Mei 2018, kedua titik reklame ini dibangun kembali dan dioperasikan lagi untuk menayangkan iklan-iklan komersial.
Kedua titik reklame itu mendapat SP-3 karena reklame milik PT WWM izinnya telah habis dan belum diperpanjang, dan konstruksinya menggunakan tiang tumbuh meski berada di Kawasan Kendali Ketat, sehingga melanggar pasal 9 Pergub Nomor 148 Tahun 2017 tentang Petunjuk Penyelenggaraan Reklame.
Sementara reklame milik PT KKL tak hanya tidak memiliki izin, tapi juga menggunakan tiang tumbuh.
"Saya kira memang ada konflik kepentingan di internal Tim Terpadu. Hal ini sebabkan oleh terjadinya kesenjangan kordonasi antarinstansi terkait dalam tim itu," kata Amir kapeda harianumum.com melalui pesan WhatsApp, Selasa (20/11/2018) malam.
Ketua Budgeting Metropolitan Watch (BMW) ini juga melihat, selain adanya kesenjangan kordinasi itu, juga keterlibatan langsung penyidik KPK dalam kebijakan Pempov DKI menertibakan reklame liar, mendorong adanya oknum SKPD tertentu yang berusaha cuci tangan atas apa yang telah dilakukannya, yang membuat Jakarta menjadi lautan reklame bodong.
"Oleh karena itu, apabila belum ada penjelasan tentang status reklame di Harmoni, maka tentu bisa diduga ada kongkalikong antara pihak pengusaha reklame dengan oknum pejabat di SKPD tertentu yang SKPD-nya masuk dalam Tim Terpadu," imbuhnya.
Amir berharap, karena penyidik KPK sudah dilibatkan secara langsung dalam upaya penertiban reklame, apalagi karena sudah disepakati bahwa 60 titik reklame bermasalah di Kawasan Kendali Ketat yang saat ini tengah ditangani Tim Terpadu harus sudah dibongkar sendiri oleh pemiliknya hingga 6 Desember 2018, maka tidak ada salahnya bila KPK juga perlu meminta penjelasan rinci dari Tim Terpadu tentang semua reklame bermasalah di Ibukota, termasuk yang di Harmoni.
"Kalau Tim Terpadu tidak bisa menyelasaikan persoalan reklame yang di Harmoni itu, maka sudah saatnya Gubernur Anis Baswedan meminta KPK untuk menindaklanjutinya sesuai tugas dan wewenang KPK (dipidanakan, red)," tegasnya.
Seperti diketahui, maraknya reklame bodong di Jakarta membuat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan potensi kebocoran pajak reklame hingga lebih dari Rp50 miliar, karena berdasarkan audit atas laporan keuangan DKI tahun anggaran 2017, ditemukan adanya 77 reklame yang tidak berizin.
Tak hanya itu, berdasarkan audit itu, BPK juga menemukan potensi hilangnya pemasukan hingga Rp83,9 miliar karena ada 118 titik reklame yang terpasang di sarana dan prasarana kota, namun beroperasi tanpa melalui proses lelang dan tidak didukung perjanjian kerja sama. (rhm)