Jakarta, Harian Umum - Gerakan Kembali ke UUD 1945 (G-45) memilih jalan tengah di tengah derasnya keinginan untuk kembali ke UUD 1945.
Pasalnya, ketika ada kelompok yang menginginkan kembali ke UUD 1945 melalui jalur dekrit presiden dan dengan meminta MPR melakukan sidang istimewa, G-45 justru menumpukan perjuangannya untuk kembali ke UUD 1945 pada anggota MPR hasil Pemilu 2024.
"G-45 menolak atau tidak setuju kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden dan lembaga negara/MPR," demikian bunyi poin kedua sikap dan pandangan G-45 tentang Pemilu dan Pilpres 2024 saat dibacakan Presidium G-45 Dr. Tifauzia Tyassuma dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (27/11/2023).
Konferensi pers ini hadir 16 presidium G-45. Selain Tifauzia, yang lain di antaranya adalah Din Syamsuddin, Anthony Budiawan, Hatta Taliwang, Adian Radiatus, Habib Muhsin Alatas, Pontjo Sutowo, Edwin Sukowati, Mayjen (Purn) TNI Syamsir Siregar, Sayuti Asyathri, Toni Hasyim dan Laode Kamaluddin.
G-45 menilai, Presiden Jokowi secara konstitusional tidak memiliki kewenangan untuk menerbitkan dekrit, dan dekrit pada hakekatnya tidak bisa mengubah dan menetapkan UUD yang merupakan wewenang MPR sebagaimana tertuang pada pasal 3 ayat (1) UUD.
Karena hal tersebut, dan karena G-45 tidak menghalangi proses Pemilu dan Pilpres, apalagi meminta untuk dihentikan, maka G-45 akan mengusahakan agar MPR hasil Pemilu 2024 menetapkan penerapan UUD 1945 yang asli pada sidang perdananya dengan adendum pada pasal yang mengatur masa jabatan presiden, di mana masa jabatan presiden dibatasi maksimum hanya dua periode.
"(G-45) mengajak seluruh elemen bangsa untuk mendukung Gerakan Kembali ke UUD 1945 Aslimpasca Pemilu dan Pilpres 2024, dan mengajak semua pihak yang memiliki pemikiran yang sama untuk bergabung menjadi bagian besar sejarah bangsa dan negara yang sejati,' kata Adian Radiatus saat membacakan poin keenam atau yang terkahir dari sikap dan pandangan G-45 tentang Pemilu dan Pilpres 2024.
Din mengatakan, terhadap kelompok lain yang ingin kembali ke UUD 1945 melalui jalur dekrit presiden dan sidang umum MPR, bahkan telah ada yang membentuk Dewan Konstitusi, G-45 tidak bermusuhan.
"Kami tidak ingin berkonfrontasi, karena kami punya kesamaan meski ada perbedaan, yaitu kami tidak setuju dengan pendekatan dekrit presiden dan juga tidak melalui MPR," tegas Din.
Seperti diketahui, amandemen UUD 1945 pada 1999-2002 dinilai sebagai pangkal rusaknya NKRI, karena amandemen itu mengubah 90% isi atau batang tubuh UUD 1945, antara batang tubuh dengan pembukaan UUD itu tidak lagi nyambung/berkesesuaian, sehingga amandemen itu dinilai telah melahirkan UUD baru yang disebut UUD 2002.
UUD baru ini mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia dari musyawarah mufakat menjadi liberal, sehingga melahirkan pemimpin-pemimpin boneka yang bekerja bukan untuk rakyat, tetapi untuk kaum kapitalis/pemodal yang mendanainya ketika kampanye Pemilu.
Bahkan lebih dari itu, berkuasanya para pemilik modal di balik pemimpin yang terpilih dari hasil Pemilu, memunculkan oligarki yang menguasai dan mengendalikan pemerintahan seperti pada saat ini.
Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Mayjen (Purn) TNI Syamsir Siregar mengatakan, sejak 2009 pihaknya telah mempelajari dan menelaah UUD 2002 dan kemudian ditarik kesimpulan bahwa kita harus kembali kepada UUD 1945 asli.
"Tapi banyak tantangan, dan ketika kami sampaikan ke DPR dan MPR, tidak dianggap," katanya.
Din mengatakan, pihaknya akan segera berdialog dan berkomunikasi dengan partai-partai politik dan para Capres-Cawapres yang bertarung di Pemilu 2024.
"Kami ingin mengetahui bagaimana pandangan mereka tentang gerakan kami," katanya. (rhm)