Jakarta, Harian Umum - Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) mengajukan petisi berisi permohonan penundaan pengesahan RUU Omnibus Law Kesehatan kepada Presiden Jokowi dan Ketua DPR Puan Maharani beserta seluruh anggotanya.
Petisi itu disampaikan dala konfrensi pers yang dilanjutkan dengan diskusi di Gedung Joeang, Jakarta Pusat, Senin (10/7/2023).
Menurut Guru Besar Kedokteran Universitas Indonesia, Sukman Tulus Putra, Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan semestinya disusun dan dibahas untuk menghasilkan suatu produk undang-undang yang bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia.
"Para dokter, mahasiswa dan lain-lain dari profesi kesehatan maupun non kesehatan telah menyampaikan aspirasi untuk rancangan undang-undang itu, tetapi hngga saat ini, di mana dalam beberapa hari ke depan rancangan undang-undang itu akan disahkan DPR melalui sidang paripurna, aspirasi yang berkembang tidak diberlakukan sebagaimana mestinya,' imbuh dia.
Menurut Sukman, berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, penyusunan RUU seharusnya melibatkan tiga aspek partisipasi masyarakat, yaitu hak untuk didengar, hak dipertimbangkan, dan mendapat penjelasan.
“Penyusunan RUU Kesehatan tidak sesuai prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga pantas untuk diprotes masyarakat sipil,” tandasnya
Karena alasan inilah, kata Sukman, FGBLP melayangkan petisi karena pemangku kebijakan tidak mendengar aspirasi masyarakat.
Petisi itu dibacakan oleh Professor Laila Nurhana sebagai perwakilan dari FGBLP yang berjumlah 151 orang, dan berasal dari unsur profesi kesehatan serta non kesehatan.
Berikut isi petisi tersebut :
Setelah membaca, menelaah, mendiskusikan secara seksama, dengan berbasis bukti, tentang RUU Kesehatan ini, FGBLP mengidentifikasi sejumlah isu serius di dalamnya yang sangat perlu dipertimbangkan, yaitu :
Pertama, penyusunan RUU Kesehatan tidak secara memadai memenuhi asas krusial pembuatan undang-undang, yaitu asas keterbukaan/transparan, partisipatif, kejelasan landasan pembentukan (filosofis, sosiologis, dan yuridis), dan kejelasan rumusan.
Langkah-langkah perbaikan dan peningkatan kualitas perumusan serta partisipasi publik harus menjadi fokus untuk mencapai undang-undang kesehatan yang lebih komprehensif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kedua, tidak ada urgensi dan kegentingan mendesak untuk pengesahan RUU Kesehatan saat ini. RUU Kesehatan ini akan mencabut 9 undang-undang terkait kesehatan dan mengubah 4 undang-undang lainnya. Padahal, hampir semua undang-undang tersebut masih relevan digunakan dan tidak ditemukan adanya redundancy dan kontradiksi antarsatu sama lain. Di saat yang sama, negara kita sedang menyiapkan sebuah hajatan demokrasi besar yang memerlukan perhatian serius, yaitu Pemilihan Umum
Ketiga, berbagai aturan dalam RUU berisiko memantik destabilitas sistem kesehatan serta mengganggu ketahanan kesehatan bangsa. Sejumlah pasal-pasal dalam RUU tidak kondusif dan menunjukkan ketidakberpihakan kepada ketahanan kesehatan bangsa yang adekuat, di antaranya:
a. Hilangnya pasal terkait mandatory spending yang tidak sesuai dengan amanah Abuja Deklarasi WHO dan TAP MPR RI X/MPR/2001,
b. Munculnya pasal-pasal terkait ruang multibar bagi organisasi profesi,
c. Kemudahan bagi dokter asing untuk masuk ke negara ini: yang tidak menguntungkan mayoritas masyarakat Indonesia yang masih harus memerangi kemiskinan,
d. Implementasi proyek bioteknologi medis termasuk proyek genom– yang mengakibatkan konsekuensi serius pada biosekuritas bangsa, dan
(e) kontroversi terminologi waktu aborsi.
Keempat, pengesahan RUU yang menuai begitu banyak kontroversi ini bisa melahirkan kelemahan penerimaan dan implementasi undang-undang (reluctant compliance) yang ujungnya bermuara pada konflik dan ketidakstabilan bidang kesehatan, kurangnya legitimasi undang-undang, serta minimnya partisipasi kolektif yang bermakna dari berbagai lapisan masyarakat dan pemangku kepentingan, termasuk organisasi profesi.
Sebagai kesimpulan, FGBLP melihat RUU Kesehatan saat ini memiliki sejumlah isu serius yang berpotensi mengganggu ketahanan kesehatan bangsa.
Karenanya, kami mengusulkan RUU ini ditunda pengesahannya dan kemudian dilakukan revisi secara lebih kredibel dengan melibatkan tim profesional kepakaran serta semua pemangku kepentingan. Dalam upaya meningkatkan kualitas dan kesempurnaan RUU ini, kami siap berkontribusi dan berkolaborasi dengan DPR serta pihak-pihak terkait. (man)