Jakarta, Harian Umum- DPRD dan Pemprov DKI Jakarta dinilai telah melanggar Permendagri No 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
Pasalnya, DPRD meluluskan permintaan Gubernur Anies Baswedan untuk mencabut dua Raperda yang terkait dengan proyek reklamasi, namun pencabutan dilakukan tanpa melalui mekanisme sebagaimana diatur dalam Permendagri tersebut.
“Sesuai Permendagri No 80 Tahin 2015, setiap penyampaian maupun pencabutan Raperda harus melalui sidang paripurna DPRD,” jelas pengamat kebijakan publik Amir Hamzah, Jumat (2/2/2018).
Seperti diketahui, pembahasan kedua Raperda itu, yakni Raperda tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dan Raperda tentang Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta, terhenti setelah mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Mohamad Sanusi diangkap KPK karena menerima suap hingga Rp2 miliar dari PT Kapuk Naga Indah (KNI), salah satu pengembang proyek di Teluk Jakarta itu.
Pada 6 Oktober 2017, atau sebelum jabatan Gubernur Djarot Saiful Hidayat berakhir, dia mengirimkan surat ke DPRD agar pembahasan dilanjutkan dan kedua Raperda itu ditetapkan sebagai Perda, namun ditolak.
Setelah Anies-Sandi yang memenangi Pilkada DKI Jakarta dilantik pada 16 Oktober 2017, Anies mengirim surat ke DPRD untuk menarik surat Djarot itu karena selain berniat menghentikan proyek reklamasi, juga ingin mengkaji ulang konten kedua Raperda itu mengingat proyek kontroversial itu ditengarai, antara lain telah merusak lingkungan pesisir di Teluk Jakarta.
Surat Anies ini sempat membuat DPRD terbelah karena di antara anggota dan pimpinan Dewan ada yang menyetujui proyek itu, sehingga keberatan Raperda dicabut.
Amir memambahkan, karena pencabutan kedua Raperda itu tidak melalui mekanisme yang sah, maka ia menyarankan DPRD segera menggelar sidang paripurna, atau lanjutkan saja pembahasan kedua Raperda itu untuk kemudian ditetapkan.
Sebab sebelum lengser pada 15 Oktober 2017, atau tepatnya pada 11 Agustus 2017, Gubernur Djarot membuat perjanjian kerjasama (PKS) dengan PT KNI yang merupakan pengembang reklamasi penghasil Pulau C, D dan G, terkait pemanfaatan tanah di atas hak pengelolaan lahan pulau hasil reklamasi.
Dalam PKS yang ditandatangani Sekda Saefullah, Presdir PT KNI Surya Pranoto Budihardjo, dan Direktur PT KNI Firmantodi Sarlito itu ditetapkan bahwa PT KNI dapat mengelola lahan Pulau D selama 30 tahun. Kesepakatan inilah yang membuat BPN Jakarta Utara kemudian menerbitkan HGB untuk pulau itu.
Amir menjelaskan, saat PKS dibuat, apa yng dilakukan Djarot dan KNI itu gak ada payung hukumnya.
"Kalau Raperda ditetapkan menjadi Perda, maka itu bisa menjadi payung hukum untuk PKS itu," imbuh pengamat yang juga ketua Budgeting Metropolitan Watch (BMW) itu.
Hal positif lain jika Raperda ditetapkan, menurut Amir, adalah karena proyek reklamasi menghasilkan 17 pulau, tak hanya Pulau C, D dan G, dan semuanya belum memiliki payung hukum.
"Kalau Raperda itu ditetapkan, itu juga akan menjadi payung hukum bagi pulau-pulau yang lain, dan bagj proyek yang nanti kemungkinan juga akan ada di sepanjang pesisir utara Jakarta," tegasnya.
Seperti diketahui, penerbitan HGB Pulau D, juga HGB Pulau C, oleh BPN Jakarta Utara sempat memicu kontroversi karena disinyalir tidak melalui prosedur yang wajar.
Pada 29 Desember 2017, Anies memgirimkan surat ke N agar HGB Pulau C dan D dibatalkan, namun ditolak. (rhm)