Jakarta, Harian Umum - Baru kali ini terjadi dalam sejarah politik nasional di mana orang berbondong-bondong mengajukan diri menjadi amicus curiae ke Mahkamah Konstitusi (MK), tepat saat lembaga yang dipimpin Suhartoyo itu sedang menangani perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), tepatnya perselisihan Pilpres 2024.
Dalam tiga pekan terakhir, sejumlah akademisi, seniman, mahasiswa, hingga politisi, termasuk Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, mengajukan diri sebagai amicus curiae
Pada tanggal 28 Maret 2024, sekitar 303 guru besar, akademisi, dan anggota masyarakat sipil melayangkan surat amicus curiae ke MK. Dua perwakilan, yaitu Ubedilah Badrun dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Sulistyowati Irianto dari Universitas Indonesia (UI), menyampaikan langsung dokumen tersebut ke Mahkamah dengan harapan MK tidak hanya mempertimbangkan angka perolehan suara dalam memutus sengketa Pilpres 2024, tetapi juga melihat secara holistik terkait pelanggaran asas-asas Pemilu yang diamanatkan oleh UUD 1945.
Mereka juga menekankan pentingnya keadilan substantif, bukan hanya keadilan prosedural formal.
Pada 1 April 2024, giliran 159 sastrawan dan budayawan yang mengajukan amicus curiae ke MK. Inisiatif ini dipimpin oleh budayawan Butet Kertaredjasa dan Goenawan Mohamad. Beberapa seniman terkenal seperti Ayu Utami dan Agus Noor turut serta dalam inisiatif ini.
Pada hari yang sama ( April 2024), Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama sejumlah dosen maupun peneliti di Fakultas Hukum UGM juga mengajukan amicus curiae. Mereka di antaranya Sigit Riyanto; Maria SW Sumardjono; Herlambang P. Wiratraman; Richo Andi Wibowo; Rikardo Simarmata; dan Laras Susanti.
Herlambang menjelaskan, penyerahan berkas amicus curiae yang terdiri dari 32 halaman dilandasi atas indikasi kuat terdapat sejumlah praktik curang dalam pelaksanaan Pilpres 2024. Ia mengatakan praktik-praktik dimaksud dilakukan dengan mengintervensi lembaga peradilan dan lembaga penyelenggara Pemilu, serta penggunaan sumber daya negara.
Selanjutnya, pada 16 April 2024 Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum dari UGM, Unpad, Undip, dan Unair menyerahkan berkas amicus curiae ke MK. Berkas tersebut disampaikan oleh Komisioner Bidang Pergerakan Dewan Mahasiswa Justicia FH UGM Muhammad Emir Bernadine.
Megawati baru menyerahkan dokumen amicus curiae ke MK pada Selasa (16/4/2024) melalui Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Amicus curiae adalah praktik hukum yang memungkinkan pihak lain di luar pihak beperkara untuk terlibat dalam peradilan. Dalam bahasa Indonesia, amicus curiae lebih dikenal sebagai sahabat pengadilan atau friends of court.
Pendapat dari amicus curiae itu nantinya dapat digunakan untuk memperkuat analisis hukum dan menjadi bahan pertimbangan hakim.
Isi dokumen amicus curiae Megawati tak berbeda dari artikel opininya yang berjudul 'Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi', yang dipublikasikan di Harian Kompas. Dalam artikel tersebut, Megawati mengingatkan hakim MK untuk menciptakan keadilan yang substantif dan menempatkan kepentingan bangsa dan negara sebagai hal paling utama.
"Dengan tanggung jawab ini, keputusan hakim Mahkamah Konstitusi atas sengketa pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) sangat ditunggu rakyat Indonesia, apakah keadilan substantif dapat benar-benar ditegakkan, atau sebaliknya semakin terseret ke dalam pusaran tarik-menarik kepentingan kekuasaan politik?" tulis Megawati.
Hasto mengaku, amicus curiae yang diajukan Megawati bukanlah bentuk intervensi terhadap MK dalam memutus sengketa Pilpres 2024, melainkan harapan agar MK tetap menjadi benteng bagi konstitusi dan demokrasi Indonesia.
"Ibu Megawati Soekarnoputri dan PDI Perjuangan tidak akan mengintervensi kedaulatan hakim MK, kami hanya menyampaikan perasaan, pikiran, dan perasaan bagaimana negara ini dibangun," katanya.
Komisioner Bidang Pergerakan Dewan Mahasiswa Justicia UGM Muhammad Emir Bernadine menyatakan, salah satu rekomendasi yang disampaikannya dalam amici curiae adalah agar MK membatalkan hasil Pemilu 2024.
"Kami merekomendasikan kepada Yang Mulia majelis hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia agar menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusannya adalah sebagai berikut, pertama, membatalkan keputusan KPU nomor 360 tahun 2024 tentang penetapan hasil pemilihan umum," kata Emir.
Mereka juga meminta MK memerintahkan KPU untuk mengadakan Pemilu ulang dengan independen, imparsial, dan berintegritas.
Emir menuturkan, MK semestinya tidak hanya mengedepankan aspek keadilan formil yang sempit atau kepastian hukum semata, tapi bertindak progresif dengan mengedepankan nilai-nilai keadilan substantif dan kemanfaatan saat mengambil keputusan.
"Yang Mulia majelis hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia agar memutus perkara ini berdasarkan hati nurani dan menolak segala bentuk intervensi sehingga dapat menghasilkan putusan yang seadil-adilnya," kata Emir.
Dalam dokumen yang diserahkan ke MK, para mahasiswa membeberkan beragam masalah dalam pelaksanaan Pemilu, mulai dari Putusan MK Nomor 90 yang mengubah syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, keterlibatan aparat, dan politisasi bantuan sosial.
Komisi Ahli Pergerakan BEM FH Undip Khalid Irsyad Januarsyah menyebutkan, salah satu masalah yang menjadi titik berat adalah keterlibatan aparatur sipil negara dan pejabat publik dalam kegiatan kampanye. Ia mengingatkan, UU Pemilu sudah mengatur bahwa ASN dan pejabat publik tidak boleh berpihak, tetapi mereka justru berkampanye, bahkan menggunakan fasilitas negara.
"Melalui amici ini memang kami secara gamblang menitikberatkan bahwa poin-poin mengenai keterlibatan aparatur sipil negara maupun presiden secara spesifik itu merupakan poin yang harus dipertimbangkan oleh Yang Mulia majelis hakim Mahkamah Konstitusi," kata Khalid.
Juru Bicara MK Fajar Laksono mengakui, bahwa baru kali ini MK menerima banyak amicus curiae terkait sengketa hasil Pilpres.
"Baru kali ini, Pilpres 2004, 2009, 2014, 2019, baru kali ini yang amicus curiae-nya ada, bahkan ya, sebelum-sebelumnya kan enggak ada, ini bahkan ada dan banyak," kata Fajar.
Ia mengaku tengah merekap jumlah amicus curiae yang masuk ke MK, tetapi memperkirakan jumlahnya lebih dari 10.
Seperti diketahui, MK diduga telah dikooptasi pemerintahan Jokowi, sehingga terbitlah Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang bukan hanya menabrak tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) MK sebagai lembaga yang tidak punya kewenangan membuat dan merevisi undang-undang, tapi juga memberi jalan kepada putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk menjadi Cawapres di usia 36 tahun. Pasalnya, putusan itu mengubah ketentuan pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menetapkan bahwa syarat minimum usia Capres-Cawapres adalah 40 tahun.
Saat berorasi di acara istighosah kubro yang diselenggarakan FPI, GNPF-Ulama dan PA 212 di Patung Kuda, Jakpus, Selasa (16/4/2024), anggota Tim Hukum Nasional (THN) Anies-Muhaimin, Refly Harun, mengabarkan bahwa hakim-hakim MK takut untuk melawan intervensi pemerintahan Jokowi, sehingga butuh penguatan. (rhm)