Jakarta, Harian Umum - Presiden Joko Widodo (Jokowi) disarankan supaya tidak memaksakan putra bungsunya yang menjabat Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, menjadi peserta Pilpres 2024.
Dia diprediksi akan berada dalam posisi sulit menjelang akhir masa jabatannya, jika tetap memaksakan diri.
"Presiden Jokowi itu sudah bagus, warisan pembangunannya sudah bagus, pendapatan perkapita sudah baik, dia membangun Papua, maka sebaiknya meninggalkan warisan yang baik dan smooth landing," kata pakar politik Ikrar Nusa Bhakti seperto dilansir kompas.com, Jumat (20/10/2023).
Menurut dia, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi syarat batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, sangat politis demi kepentingan pihak tertentu.
Dia bahkan menilai politisasi MK kental sekali dalam putusan itu, sehingga sudah menjadi lembaga yang melakukan yudisialisasi terhadap hal-hal yang berbau politik.
"Dan jangan menyalahkan kalau orang mencurigai putusan ini ada kepentingannya Gibran," tegas dia.
Menurut Ikrar, putusan MK itu seolah memperlihatkan terdapat sinyal kuat buat menjaga kepentingan kekuasaan dari penguasa, dan tidak memikirkan kepentingan masyarakat.
"Seperti seolah jadi raja menurunkan ke putra mahkota," katanya.
Karena itu, lanjut Ikrar, jika Presiden Jokowi menegaskan sikapnya dengan melarang Gibran agar tidak berlaga di Pilpres 2024, maka kemungkinan sikap rakyat akan melunak.
Akan tetapi jika yang terjadi sebaliknya, maka menurut Ikrar bisa memicu kegaduhan baru dalam perpolitikan Tanah Air, dan memberikan contoh buruk dalam proses demokrasi.
"Kalau enggak, ini bukan mustahil terjadi perlawanan rakyat. Bukan dalam artian amuk massa, tapi mereka kemungkinan akan berbalik, dari yang tadinya mendukung menjadi muak. Bisa-bisa akhir jabatannya hard landing, atau bisa jadi crash landing," ujar Ikrar.
Ikrar berharap Presiden Jokowi menyadari jika tidak tegas, maka pemerintahan mendatang dan masyarakat yang harus membayar mahal atas kerusakan yang ditimbulkan dari permainan politik melalui proses hukum.
Padahal, bangsa Indonesia sudah sepakat untuk tidak kembali ke masa pemerintahan yang kelam setelah Reformasi 1998 dan menuju kematangan demokrasi pada 2039.
"Tapi kalau sekarang terjadi seperti ini, ini namanya dia memutarbalikkan reformasi. Padahal di 1998 kita sepakat ini adalah point of no return. Bayangkan kalau kita kembali ke titik nol dalam persoalan politik. Itu akan lama mengembalikannya dan menghabiskan banyak uang," tegas Ikrar lagi.
Seperti diberitakan lima dari sembilan hakim MK, termasuk Ketua MK Anwar Usman, menerima sebagian uji materil batasan usia Capres/Cawapres yang diatur dalam UU Pemilu. Uji materil yang diajukan mahasiswa Universitas Negeri Surakarta yang diregistrasi sebagai perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu memohonkan agar selain batas usia Capres/Cawapres minimal 40 tahun, juga orang yang berpengalaman menjadi kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota juga dapat menjadi Capres/Cawapres.
Dengan diterimanya uji materil itu, maka siapapun yanv belum berusia 40 tahun, tapi jika pernah atau sedanf menjadi kepala daerah, dapat menjadi Capres/Cawapres.
Putusan yang dibacakan pada Senin (16/10/2023) itu bikin geger, karena terjadi di tengah derasnya wacana pendukung Jokowi menjadikan Gibran sebagai Cawapres di usianya yang kini 36 tahun, sehingga muncul tudingan kalau putusan itu ditujukan untuk memuluskan wacana men-Cawapres-kan Gibran.
Terlebih karena Anwar adalah pamannya Gibran dam sesuai aturan perundang-undangan, yang berwenang mengubah norma dalam UU Pemilu adalah DPR sebagai pihak yang membahas dan mengesahkannya, bukan MK.
Guru besar hukum tatanegara Denny Indrayana bahkan menilai putusan MK itu tidak sah karena selain mengandung conflict of interest, juga si penggugat tidak punya legal standing.
Pemerhati Politik dan Kebangsaan Rizal Fadillah menduga kalau putusan MK ini terkait dengan kekhawatiran Jokowi tentang nasib diri dan keluarganya jika tak lagi menjadi presiden, sehingga dia ingin Gibran menggantikan dirinya meski hanya sebagai Wapres.
Sebab, selama dua periode menjadi presiden, Jokowi banyak melakukan pelanggaran konsutitusi, melanggar aturan perundang-undangan, diduga mrlakukan KKN yang juga melibatkan anak-anaknya, dan bahkan ijazahnya diduga palsu. (rhm)