Jakarta, Harian Umum - Masyarakat Nusantara sejak dahulu kala (pra sejarah) sesungguhnya merupakan masyarakat yang religius.
Artinya masyarakat Nusantara sudah memiliki kehidupan dan kebudayaan yang beradab yang dibuktikan dengan berbagai peninggalan peradabannya hingga berbagai warisan budaya dan tradisi budaya luhur yang masih diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat setiap etnik di Nusantara.
Berbagai bukti peninggalan agung para leluhur bangsa Nusantara itu masih ada baik yang sudah ditemukan sebagai kawasan situs cagar budaya atau masih dalam bentuk peninggalan yang masih dalam proses studi atau penelitian.
Selain dalam bentuk kawasan situs yang berupa benda-benda artefak, situs dan karya budaya masa lalu lainnya, warisan budaya luhur masa lalu bangsa nusantara masih berkembang dalam berbagai sistem tradisi kepercayaan yang diimpelemtasikan dalam berbagai ritus kepercayaan dari agama leluhur masyarakat Nusantara dari Sabang sampai Merauke.
Salah satu lembaga kepercayaan ajaran leluhur Nusantara yang sejak sekitar tahun 1947an bertahap menghimpun diri dan berproses dalam upaya peneguhan, penguatan, dan penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam bingkai sistem ritus dan ajaran kepercayaan atau agama leluhur bangsa Nusantara, maka terbentuklah BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia) yang kemudian menjadi terbentuknya HPK atau Himpunan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Perjuangan lembaga BKKI dalam memperjuangkan hak berkepercayaan atau berkeyakinan sesuai ajaran leluhur Nusantara ini kemudian berbuah adanya Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1973-22 Maret 1973.
Pada awal pendiriannya BKKI menjadi HPK ini, digagas dan dipelopori salah satunya oleh Bapak Wongsonegoro yang pada masa itu sebagai Wakil Perdana Menteri Indonesia Kabinet Ali Sastroamidjojo I pada tahun 1953 hingga tahun 1955 dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun 1951 hingga tahun 1952.
Bahkan di masa Orde baru para kaum penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ini pernah ada bersama-sama dalam kementrian agama, dan sering bertayang Mimbar Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam acara TVRI Pusat.
Sebelum membahas lebih jauh tentang makna, maksud dan tujuan dari adanya Ritual di Gunung Padang ini, kiranya kita perlu memahami bahwasannya kebebasan berkeyakinan dan mengimplementasikan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bagi setiap warga negara Indonesia dijamin berdasarkan konstitusi UUD 1945.
Adapun beberapa peraturan perundang-undangan yang menjamin kemerdekaan beragam keyakinan dan impelementasi ritual kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu diantaranya : Pasal 18 UUD 1945, pasal 28E UUD 1945, Pasal 28I UUD 1945,Pasal 29 UUD 1945 serta Pasal 22 UUD 1945.
Maka berkaitan dengan dasar Hukum Konstitusi itulah setiap warga negara termasuk warga penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ( dalam konteks ini masyarakat penghayat HPK atau Himpunan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa) memiliki kebebasan dalm melaksanakan ritus keyakinannya sesuai dengan dasar ideoligi bangsa Indonesia sila kesatu yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ritual Shrada Banawa Sekar Nusantara dahulu awalnya merupakan ritual yang dijelaskan dalam Kakawin Banawa Sekar karya Mpu Tanakung sebagai upacara yang sangat agung (mahasraddha dibya) melebihi upacara-upacara terdahulu.
Upacara ini diselenggarakan dengan harapan agar dunia menjadi sejahtera karenanya.
Dalam sastra kakawin, bunga-bunga yang indah selalu menjadi topik keindahan yang ditampilkan oleh sang Kawi.
Dalam upacara sraddha itu sendiri, bunga menjadi sebuah objek yang melengkapi media ritual.
Dengan demikian, dalam upacara sraddha, media perahu yang berhiaskan bunga ini memiliki makna: kemegahan atau keindahan yang tiada tara untuk mengantarkan arwah nenek moyang menuju alam niskala.
Begitu juga dalam pelaksanaan ritual di Gunung Padang ini diseratakan sesajian beragam bunga rampe, daun hanjuang, dan bahan sesaji lengkap layaknya suatu ritual tradisi adat Nusantara, juga disertakan 40 nasi tumpeng sebagai gambaran 40 Sanghyang yang berada pada puncak-puncak gunung di tatar Sunda. Nasi tumpeng itu kemudian setelah selesai ritual disantap bersama oleh semua peserta ritual di lokasi yang agak jauh dari lokasi ritual.
Setelah itu seluruh peserta kembali melangsungkan ritual menjelang puncak malam hari yaitu ritual Bakti Purnama Sari Nusantara yang sebelumnya disajikan arian sakral tarawangsa yang kurang lebih memiliki makna “menarawang kepada yang Maha Kuasa” atau berdoa terhadap Tuhan Yang Maha Esa yaitu dengan cara meneghayati kedalam jiwa kemanusiaan kita untuk menemukan kesadaran diri sejatinya sebagai manusia yang manunggaling kawula lan Gustinya.
Dalam ritual ini yang dilaksanakan sejak mentari tenggelam di ufuk barat hingga mentari terbit di ufuk Timur dilantunkan dengan doa dan kidung spiritual tata cara adat budaya ritual Sunda Pajajaran.
Ritual di Situs Gunung Padang ini terselenggara atas kerjasama oleh masyarakat HPK dengan dukungan oleh Pusat Penerangan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia ( Puspen Mabes TNI). Hadir dalam kegiatan ritual ini diantaranya Kapuspen TNI Laksamana Muda TNI Julius Widjojono, C.H.R.M.P. , Perwakilan BNPT ( Badan Nasional Penanggulangan Teroris) yaitu Brigadir Jendral Polisi Ahmad Nurwahid Direktur Pencegahan dan Deradikalisasi BNPT, Perwakilan Dirjen Kebudayaan RI dalam hal ini Bapak Sumari Sosro Adi Wiguno perwakilan dari Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia, Ketua Umum DPP HPK (Dr. Hadi Prajoko, S.H) dan para pengurus DPP HPK, para pengurus DPD HPK Jabar, DKI dan Jateng, warga HPK Jabar,DKI,Jateng, masyarakat-masyarakat adat serta berbagai tamu undangan lainnya lintas keyakinan. 1-2 Agustus 2023.
Kerjasama kegiatan yang digawangi ol eh Kapuspen TNI bersama DPP HPK ini, secara khusus tiada lain adalah sebagai wujud dari upaya menjaga ketahanan dan kedaulatan kebudayaan bangsa dalam merawat, menjaga, melindungi dan melestarikan segenap warisan peradaban leluhur Nusantara yang dahulu dikenal sebagai masyarakat yang beradab dan relijius, jauh sebelum adanya pengaruh kebudayaan dan sistem kepercayaan dari luar Bangsa Nusantara.
Ritual di Gunung Padang ini juga sebagai upaya HPK sebagai perwakilan anak bangsa yang cinta tanah air dan budaya bangsanya dalam penghormatan kita sebagai sesama anak bangsa Nusantara terhadap para leluhur bangsa dan para kusumah bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan budaya bangsa indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika dengan dasar Pancasila.
Berkaitan dengan hal itu, dalam rangka menyongsong Peringatan Hari Kemerdekaan Bangsa indonesia, maka ritual yang dilaksanakan pada mulai dari sore tenggelamnya matahari, puncak malam hari saat bulan Purnama dan menjelang pagi hari saat fajar menyingsing, tiada lain adalah suatu ritual terhadap Tuhan Yang Maha Esa di salah satu titik bukti peradaban Luhur Bangsa Nusantara yang agung.
Dengan ritual ini diharapkan bahwa bangsa Indonesia ke depan akan kembali meraih kemakmuran, kesejahteraan, ketentraman dalam keragaman berkeyakinan dan kebudayaan yang Bhinneka Tunggal Ika dengan dasar Ideologi bangsa yaitu Pancasila.
Keterlibatan pihak TNI dalam ritual di Gunung Padang ini, sebagai bukti bahwasannya Ketahanan Bangsa ke depan berada pada sejauhmana rakyat bersama aparat negara bersatu dalam menjaga nilai-nilai luhur peradaban bangsa yang harus diimplementasikan dan diteruskan oleh segenap anak bangsa agar Bangsa Indonesia kembali bangkit dan bersatu dalam kejayaan keberagaman budaya Bangsanya.
Ritual ini juga melibatkan partisipasi beragam latar belakang sosial, budaya, keyakinan dan partisipasi penduduk sekitar lokasi Gunung Padang, juga padepokan Cakra Putra Padjadjaran Cianjur.
Dengan demikian diharapkan ke depan setelah acara ritual ini diharapkan masyarakat setempat (khususnya di kawasan Gunung Padang sebagai masyarakat sociofak penjaga kawasan artefak situs Gunung Padang) dan seluruh anak bangsa melanjutkan acara ritual Shrada Banawa Sekar Nusantara atau bakti Purnama Sari Nusantara ini setiap bulan Purnama menjelang Peringatan hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Bulan Purnama sebagai simbol penerang alam di dalam kegelapan malam hari, sehingga dengan adanya ritual Nusantara ini maka diharapkan akan memberikan “penerangan kesadaran kepada segenap anak bangsa Nusantara dan bahkan dunia” yang sedang mencari jatidiri kemanusiaan dan jatidiri kebangsaanya agar tercipta masyarakat Indonesia seutuhnya yang sadar akan jatidiri kemanusiaan dan kebangsaannya sebagai putra-putri bangsa Nusantara yang akan setia dan cinta pada tanah air tumpah darahnya dengan berprinsip pada “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”.pungkasnya"(Barley)