Jakarta, Harian Umum - Pimpinan DPR terkesan enggan mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan legislatif dan eksekutif membentuk UU Ketenagakerjaan baru paling lama 2 tahun.
Keengganan itu terlihat dari banyaknya alasan yang dikemukakan.
“Kita di legislatif ini di DPR Senayan kan harus selalu siap ya. Mau 2 tahun, 3 tahun, setahun, mau 6 bulan, mau 2 bulan, mau sebulan juga kalau memang harus itu ya kita juga (harus siap),” ujar Wakil Ketua DPR dari Fraksi Golkar, Adies Kadir, kepada wartawan di Gedung Parlemen, Jumat (1/11/2024).
Meski begitu, Adies menegaskan bahwa pimpinan DPR RI akan terlebih dahulu mengkaji putusan MK tersebut, sebelum memutuskan tindak lanjut yang diambil.
DPR RI akan merencanakan pembentukan UU baru terkait ketenagakerjaan, jika dianggap perlu menurut hasil kajian dan sejalan dengan program pemerintahan Presiden Prabowo Subianto
"Tapi kita harus lihat konteksnya seperti apa, undang-undang seperti apa yang harus kita golkan. Sejalan apa tidak dengan program pemerintahan yang baru, Pak Prabowo,” pungkas Adies.
Seperti diketahui, pada Kamis (31/10/2024) MK mengabulkan sebagian permohonan judicial review Partai Buruh dan sejumlah Serikat Pekerja atas UU Omnibus Law Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Saat amar putusan dibacakan, dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta DPR dan Pemerintah menyusun UU Ketenagakerjaan baru dalam waktu maksimal dua tahun.
Pembentukan UU Keternagakerjaan baru diperintahkan karena UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang diubah menjadi UU Cipta Kerja banyak yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
"Waktu paling lama dua tahun dinilai oleh Mahkamah cukup bagi pembentuk undang-undang untuk membuat undang-undang ketenagakerjaan baru yang substansinya menampung materi UU Nomor 13 Tahun 2003 dan UU Nomor 6 Tahun 2023," kata Enny.
Ia menyampaikan, UU Ketenagakerjaan yang baru harus juga menampung substansi terhangat sejumlah putusan MK yang berkenaan dengan ketenagakerjaan dengan melibatkan partisipasi aktif serikat pekerja/serikat buruh.
Ia menjelaskan, perintah untuk pembentuk Undang-undang dilakukan karena secara faktual, materi/substansi UU Ketenagakerjaan telah berulang kali dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya ke MK.
Berdasarkan data pengujian UU di MK, sebagian materi/substansi dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 telah 37 kali diuji konstitusionalitasnya.
Berdasarkan jumlah pengujian tersebut, dari 36 yang telah diputus Mahkamah, 12 permohonan dikabulkan, baik kabul seluruhnya maupun kabul sebagian.
"Artinya, sebelum sebagian materi/substansi UU Nomor 13 Tahun 2003 diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2023, sejumlah materi/substansi dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 telah dinyatakan oleh Mahkamah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik untuk seluruh norma yang diuji maupun yang dinyatakan inkonstitusional atau konstitusional secara bersyarat," kata Enny.
Terhadap fakta tersebut, lanjut Enny sebagian materi/substansinya telah dinyatakan inkonstitusional. Oleh sebab itu, dalam batas penalaran yang wajar, UU Nomor 13 Tahun 2003 tidak utuh lagi. (man)