Jakarta, Harian Umum - Sebanyak 7.000 ton gula pasir tebu milik petani di Yogyakarta masih menumpuk di gudang akibat membanjirnya gula rafinasi impor.
Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) DIY Roby Hermawan meminta pemerintah untuk membatalkan surat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang dikeluarkan 15 Agustus lalu yang menetapkan harga pembelian gula sebesar Rp 9.700/kg.
"Para petani terancam tidak bisa memasok tebu karena stok gula masih menumpuk dan belum terjual," katanya, Minggu, 27 Agustus 2017.
Ia menyatakan harga beli oleh pedagang terhadap gula tebu asal para petani hanya Rp 8.700/kg. Penginnya, harga jual gula kepada pedagang Rp 11 ribu/kg. Sedangkan biaya produksi dan bahan saja sudah mencapai Rp 10.600/kg.
Roby menjelaskan, banyaknya stock gula yang masih belum terserap merupakan hasil dari dua periode penggilingan di Pabrik Gula Madukismo tahun ini. Padahal Pabrik Gula Madukismo, Bantul, bisa memproduksi 20 ribu ton per tahun dengan tebu yang dipasok dari 1.000 petani tebu yang tersebar hingga kawasan Jawa bagian selatan.
Jika persediaan ini tidak terserap, kemungkinan besar petani tebu di kawasan Yogyakarta dan sekitarnya tidak bisa memasukkan panenan tebu untuk delapan musim giling yang berlangsung pada Mei-Oktober.
APTRI Yogyakarta berharap pemerintah untuk mengeluarkan moratorium impor gula hingga akhir Desember atau sampai tahun depan dengan harapan stok gula petani bisa memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri.
Menurut Roby, Badan Urusan Logistik (Bulog) yang diberi wewenang melakukan pembelian gula ke petani belum melakukan sosialisasi.
Juru bicara Bulog Divisi Regional Yogyakarta, Yudha Aji, menyatakan pihaknya masih berkoordinasi soal skema pembelian gula ini.
"Kami masih koordinasi soal skema pembeliannya," katanya.