Jakarta, Harian Umum - Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah menduga masih adanya budaya 'proyek' dalam pembuatan regulasi di pemerintahan. Akibatnya, proses pembahasan hanya melibatkan sekelompok orang-orang tertentu yang menguntungkan dirinya.
"Seperti langkah DPRD DKI Jakarta yang menyerahkan rancangan Perda Kawasan Tanpa Rokok ke Gubernur DKI Jakarta, setiap kebijakan yang dirancang pemerintah, sudah seharusnya tidak memojokkan pihak tertentu. Harus selalu ada keseimbangan keadilan regulasi," ungkapnya dalam diskusi yang digelar Jakarta Discussion Forum (JDF) di Warung Bumbu Desa, Jakarta Pusat, Senin (27/11/2017) lalu.
Trubus menjelaskan, Instrumen aturan untuk industri rokok dinilai saat ini sudah begitu banyak (over regulated) sehingga tidak perlu ada penambahan kembali. Namun, seiring dengan munculnya Perda di masing-masing daerah, industri rokok menilai ada penerapan kebijakan yang berada di luar batas undang-undang sebagai panutan. Banyak daerah yang memuat pasal-pasal yang langsung mematikan industri rokok.
Padahal Produk hukum Perda ini nantinya berada di tingkat lebih tinggi dari peraturan gubernur (pergub) dan semua pihak wajib mematuhinya. Jika melanggar, maka siap-siap saja mendapat denda setinggi-tingginya Rp50 juta atau kurungan enam bulan. Sehingga, ini bisa menjadi aturan yang sangat serius.
Demikian pula usulan ketentuan dalam rancangan perda KTR tidak saja merugikan para pabrikan produk tembakau. Tetapi juga akan merugikan semua mata rantai industri, mulai dari pedagang di toko tradisional dan moderen, pekerja pabrikan rokok sekaligus petani tembakau dan cengkeh.
"Sudah seharusnya DPRD dan Pemprov DKI Jakarta mengkaji secara komprehensif dan holistik terkait raperda KTR yang saat ini tengah dibahas. Seharusnya raperda itu disesuaikan dengan PP Nomor 109 Tahun 2012. Salah satu pasal yang memberatkan adalah Pasal 41 ayat 2. Dalam pasal itu, diatur sanksi bagi perokok berupa pembatasan pelayanan administrasi kependudukan dan kesehatan. pelayanan administrasi kependudukan dan kesehatan merupakan hak perdata hak perdata setiap warga negara," paparnya. (rls)