UNTUK KETIGA kemungkinan putusan MK, Jokowi tetap sebagai "trouble maker". Oleh karenanya, demi kebaikan dan keadilan serta kedamaian, maka sumber masalah itu harus dieliminasi. Demokrasi hanya dapat dipulihkan tanpa kehadiran Jokowi.
-------------------------------
Oleh: M Rizal Fadillah
Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Tiga kemungkinan Putusan Hakim MK pada hari ini, 22 April 2024, yang diagendakan mulai pukul 09.00, yaitu :
Pertama, menolak gugatan pasangan 01 dan 03 Pilpres 2024 dengan alasan pihak penggugat tidak berhasil membuktikan angka perolehan yang mampu mengubah kemenangan Pasangan 02 menjadi di bawah 50% dengan sebaran sesuai undang-undang. Kewenangan MK adalah memeriksa dan mengadili perselisihan angka perolehan akhir. Prabowo Gibran tetap sebagai pemenang Pilpres sesuai Keputusan KPU.
Kedua, Gibran Rakabuming Raka didiskualifikasi sebagai Wapres Pilpres 2024 akibat Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 dinilai cacat etika dan cacat hukum. Keputusan DKPP yang menghukum KPU dalam hal menerima pendaftaran Gibran sebelum perubahan PKPU menjadi alasan kuat atas ketidakabsahan Gibran sebagai pasangan dari Capres Prabowo Subianto. Pilpres harus diulang dengan perintah Prabowo menetapkan Cawapres baru pengganti Gibran.
Ketiga, mendiskualifikasi pasangan Prabowo Gibran atas dasar Keputusan MKMK dan DKPP KPU serta proses Pilpres yang dinilai tidak jujur dan adil, baik penyimpangan Bansos, kekacauan Sirekap serta ketidakabsahan persyaratan Gibran, ditambah dengan berbagai masukan "Amicus Curiae" yang mencerminkan nilai-nilai hukum dan nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Dilakukan Pilpres ulang dengan peserta hanya pasangan Anies Muhaimin dan Ganjar Mahfud.
Meski ada opsi model keempat, kelima, keenam atau lainnya, tetapi apapun itu, maka Jokowi yang menjadi dalang dari kerusakan negeri ini haruslah segera dimakzulkan. Pada tahap pelaksanaan tiga kemungkinan Putusan Hakim MK di atas, maka keberadaan Jokowi tetap menjadi masalah.
Jika Putusan berupa pengukuhan kemenangan Prabowo-Gibran, maka Jokowi tetap menjadi penentu, baik hingga Oktober pelantikan maupun setelahnya. Prabowo telah "diseret" ke China untuk "sambung program" Xi Jinping-Jokowi. Mengukuhkan peran Jokowi bersama Xi Jinping untuk mengendalikan Prabowo-Gibran. Tiga periode Jokowi diwujudkan dengan peran pasangan Prabowo-Gibran.
Dalam hal hanya Gibran yang terdiskualifikasi, maka Jokowi sakit hati. Hingga Oktober Jokowi akan lakukan konsolidasi dengan dua hal, mengganggu Prabowo atau ia pasang Wapres yang akan menjadi kepanjangan tangan Jokowi. Entah Erick Thohir atau lainnya. Posisi tawar Jokowi adalah Gibran mendapat kedudukan strategis dan Wapres mutlak "miliknya". Untuk ini Jokowi akan tetap cawe-cawe.
Jika Hakim MK mendiskualifikasi Prabowo-Gibran, maka Jokowi dan Prabowo-Gibran akan melawan. Perlawanan ini dilakukan dengan segala upaya, baik dana, sarana maupun aparat untuk mendegradasi pasangan-pasangan yang bertarung. Atau Jokowi akan memihak kepada salah satu pasangan. Ini berarti ia dengan segala kecerdikan dan kelicikannya akan menyukseskan kandidat yang didukung.
Untuk ketiga kemungkinan di atas, Jokowi tetap sebagai "trouble maker". Oleh karenanya, demi kebaikan dan keadilan serta kedamaian, maka sumber masalah itu harus dieliminasi. Demokrasi hanya dapat dipulihkan tanpa kehadiran Jokowi. Selama Jokowi ada, apapun Putusan MK akan goyah dan tidak menyelesaikan problema dari bangsa dan negara.
Tri-missi bangsa saat ini adalah makzulkan, tangkap, dan adili Jokowi. Dasar pemakzulan sudah sangat banyak. Ketentuan Pasal 7A UUD 1945 sudah terpenuhi. Tangkap, karena untuk kasus Nepotisme atau politik dinasti Jokowi telah melanggar Pasal 22 UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Dengan ancaman hukuman 12 tahun, Jokowi dapat ditangkap dan ditahan. Kualifikasinya adalah tindak pidana berat.
Proses peradilan harus dilakukan untuk Kepala Negara yang diduga kuat melakukan pengkhianatan negara, korupsi dan nepotisme.
Peradilan atas Jokowi menjadi yang pertama dan harapannya, terakhir.
Siapapun Presiden harus berhati-hati dan senantiasa menunaikan amanat rakyat dengan sebaik-baiknya.
Jangan seperti Jokowi, presiden terburuk dan terbusuk dalam sejarah bangsa Indonesia.
Jakarta, 22 April 2024