Jakarta, Harian Umum - Sedikitnya telah dua orang umat Islam yang dituding sebagai terduga pelaku tindak pidana terorisme, pulang dalam keadaan telah menjadi mayat setelah ditangkan Datasemen Khussu (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri.
Di sisi lain, tak terhitung jumlah umat Islam yang mendapat tuduhan serupa, kehilangan nyawa saat akan ditangkap.
Kematian tragis pertama umat Islam terduga teroris yang pulang menjadi mayat setelah dutangkap Densus, dialami Ustad Sriyono, warga Dukuh Brengkungan, Desa Pogung, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, pada Maret 2016.
Dia meninggal, menurut Mabes Polri, akibat benturan di kepala.
Namun dari hasil otopsi tim dokter PP Muhammadiyah terhadap jenazah Sriyono, setelah makam ustad malang itu dibongkar, dan dirilis bersama Komnas HAM pada April 2016, diketahui kalau kematian Siyono diakibatkan benda tumpul yang dibenturkan ke bagian rongga dada.
"Ada patah tulang iga bagian kiri, ada lima ke bagian dalam. Luka patah sebelah kanan ada satu, ke luar," jelas Komisioner Komnas HAM Siane Indriani kala itu.
Ia menambahkan, tulang dada Siyono juga dalam kondisi patah dan ke arah jantung.
"Luka itu yang menyebabkan kematian fatal dan disebut sebagai titik kematian Siyono," imbuh dia.
Kematian tragis kedua dialami Muhammad Jefri (MJ) alias Abu Umar, warga Mekarjati, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Pedagang es ini dijemput Densus dalam keadaan sehat wal afiat pada 7 Februari 2018, namun sehari kemudian pulang dalam peti mati.
Uniknya, keluarga korban, termasuk istrinya, tidak diizinkan membuka peti mati itu dan melihat jenazah suami dari anaknya yang masih berusia 10 bulan itu.
Belakangan, Kamis (15/2/2018), Densus melalui Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Setyo Wasisto mengatakan kalau penyebab kematian Jefri adalah akibat penyakit jantung.
"Berdasarkan surat visum et repertum disimpulkan penyebab kematian adalah serangan jantung," kata Setyo di kantornya, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Ia menambahkan, setelah ditangkap Densus 88, sekitar pukul 18.00 WIB Jefri mengeluh sesak napas, dan polisi langsung membawanya ke klinik terdekat di wilayah Indramayu.
"Pukul 18.30 WIB, berdasarkan keterangan dokter, tersangka telah meninggal," katanya.
Ia bahkan mengaku kalau pada 8 Februari dini hari, polisi melakukan autopsi, dan kemudian memulangkan jenazahnya kepada keluarga.
Namun tak ada yang percaya versi polisi ini, karena ketika kasus kematian Sriyono, keluarganya diberi uang Rp100 juta oleh Densus 88, keluarga Jefri diberi uang Rp40 juta, dengan alasan sebagai santunan.
"Kalau serangan jantung, kenapa JENASAHNYA TIDAK BOLEH DILIHAT?" kecam aktivis PP Muhammadiyah Mustofa Nahrawardaya melalui akun Twitter pribadinya, @NetizenTofa.
"Patut diduga "jantung"nya diserang yang terbaik diautopsy biar gak ada dusta," kicau politisi Partai Bulan Bintang (PBB) yang juga mantan Menteri Kehutanan (Menhut) MS Kaban melalui akun Twitter-nya, @hmskaban.
"Serangan jantung ... heeem ... Bisa jadi ada sesuatu yang menyerang jantungnya. Apakah itu yang menyerang jantungnya? Kenapa keluarga tidak boleh melihat jenazahnya? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Eta terangkanlah," sahut akun @ThenBagoes.
Seiring dengan mencuatnya kasus ini, tiba-tiba di media sosial, khususnya grup WhatsApp, beredar data tentang bagaimana Densus 88 "menginterogasi" umat Islam yang mereka tangkap dan dituding sebagai teroris.
Data ini, menurut pihak-pihak yang men-share data ini, bersumber dari mantan eksekutor Densus 88, spionase dan intelijen.
"YA ALLAH ...ASTAGHFIRULLAH..!!" demikian isi pembuka postingan tersebut.
Postingan itu diberi judul *Teknik Kejam Densus 88 Dalam Mengeksekusi para Aktivis Islam*.
"Ketika D88 menangkap seorang aktivis Islam, maka korban dibawa dalam keadaan tangan terikat ke belakang menuju kesebuah ruangan kedap suara," kata postingan itu.
Di dalam ruangan tersebut telah menunggu 5-7 orang eksekutor D88 dengan wajah tertutup topeng hitam hingga matanya saja yang terlihat.
Ada sebuah meja yang di atasnya banyak terdapat peralatan-peralatan penyiksa seperti linggis, tang, gunting rumput, alkohol, korek gas, jarum sol, Alquran, spirtus, palu, tongkat baseball, cambuk kawat, rotan, balok, staples, paku, dan lain-lain.
Teknik penyiksaan:
1. Korban ditanya: Kamu Muslim?"
Jika korban menjawab "ya" maka langsung semua personel D88 memukulinya, ditendang, dihantam linggis, balok hingga terjatuh.
2. Personel D88 kemudian akan menyuruh korban untuk mengaji. Selesai membaca Alquran, maka kembali ketujuh personel D88 menyiksa dengan alat-alat penyiksa hingga tulang korban ada yang patah. Korban pingsan pada tahap ini.
3. Tahap selanjutnya personel D88 akan menyiram korban yang pingsan dengan spirtus atau alkohol, dan membakar tubuh korban selama 5-20 detik hingga korban tersadar dari pingsan, kemudian mematikan api dengan disemprot alat pemadam (apar), sehingga tubuh korban menjadi gelap akibat bekas luka bakar 20%.
4. Pada tahap ini personel D88 menyobek Alquran dan menginjak2 Kitab Suci tersebut. Jika korban merasa tak terima perlakuan hina terhadap Alquran, maka kembali seluruh personel D88 menyiksa, menusuk, menginjak2 tubuh korban hingga sekarat.
Pada tahap ini tak ada yg sanggup bertahan hidup, hingga seluruh korban yg ditangkap D88 100% tewas mengenaskan.
Semua media kemudian meng ekspose korban dengan tuduhan teroris.
"Sehari sebelum jasad korban dikembalikan kepada keluarganya maka D88 memasang spanduk di wilayah tempat tinggal korban dengan tulisan : "Warga ....(tempat domisili korban) menolak jenazah teroris" dan lain sebagainya," tutup postingan tersebut.
Benarkah ini?
(rhm)