Jakarta, Harian Umum- Pemerintahan DKI Jakarta periode 2017-2022 yang dipimpin Gubernur Anies Baswedan dan Wagub Sandiaga Uno barangkali merupakan pemerintahan paling berat untuk dijalani dalam sejarah Jakarta, bahkan Indonesia.
Pasalnya, begitu mereka dilantik pada Oktober 2017, mereka langsung berhadapan dengan kelompok yang tak mampu move on atas kekalahan Ahok-Djarot yang mereka dukung penuh saat Pilkada DKI Jakarta 2017, karena pasangan yang diusung koalisi PDIP, Hanura, Nasdem, Golkar, PPP dan PKB itu dikalahkan Anies Sandi.
Para oposisi yang terkadang terlihat garang dan radikal itu tak hanya ada di DPRD, namun juga di lingkungan Pemprov DKI sendiri dan di berbagai lembaga pemerintahan yang makin lama makin terlihat tidak independen, seolah karena pemerintaham Jokowi merupakan pemerintahan yang diusung PDIP dan kawan-kawan, maka semua lembaga harus ikut memusuhi Anies-Sandi dan menyerangnya setiap ada kesempatan.
Celakanya, serangan yang dilakukan sering kali tidak cerdas dan terkesan mengada-ada. Tak lama setelah dilantik, kata "Pribumi" yang diucapkan Anies saat berpidato, langsung dipermasalahkan dan bahkan dibawa ke jalur hukum, karena sebagai pemimpin, Anies dinilai tak pantas mengucapkan kata yang dianggap dapat me!ecah belah anak bangsa dan terkesan intoleran itu. Padahal, banyak tokoh di Indonesia pernah menggunakan kata itu, termasuk Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Wapres Jusuf Kalla.
Anies-Sandi juga pernah dipojokkan dengan pemberitaan tentang pengadaan pohon imitasi yang dipasang di Jalan MH Thamrin, dan pengadaan bak sampah buatan Jerman. Pengadaan-pengadaan ini membuat Anies-Sandi dianggap telah memboroskan anggaran. Padahal, pohon imitasi dan bak sampah itu dibeli saat era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Yang tak kalah menghebohkan, ketika Anies menutup Jalan Jatibaru Raya dalam rangka penataan Tanah Abang, dia bukan hanya dilaporkan ke polisi oleh aktivis Cyber Indomesia Jack Boyd, namun juga dinilai telah melakulan malaadministrasi oleh Ombudsman, dan diancam akan dikenai sanksi oleh Kemendagri jika rekomendasi Ombudsman agar Jalan Jatibaru Raya segera dibuka, tidak dilaksanakan.
Terakhir, Anies mendapat serangan balik dari 13 pejabat yang dia copot dalam rangka rotasi dan mutasi, karena sebagai penguasa baru di Jakarta, dia membutuhkan anggota tim yang solid, kompeten dan loyal, sementara pejabat di lingkungan Pemprov DKI yang saat ini menjabat semuanya orang-orang yang diangkat oleh Gubernur Jokowi, Ahok, dan Gubernur Djarot Saiful Hidayat dalam rentang 2012-2017, dan semuanya diketahui loyal terhadap Ahok sehingga dijukuki Ahokers.
Serangan itu dilakukan dengan melaporkan Anies ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dan lembaga itu kini sedang menangani laporan ke-13 pejabat tersebut.
Ketua Aliansi Masyarakat Jakarta (Amarta) Manginar Rico Sinaga menilai wajar jika saat ini KASN terlihat kerja keras untuk menangani laporan itu, karena para pelapor mengatakan, mereka dicopot tanpa prosedur yang benar.
"Tapi tahu tidak KASN apa yang terjadi di Jakarta dalam lima tahun terakhir?" tanyanya kepada harianumum.com, Sabtu (21/7/2018).
Ia mengingatkan, dalam rentang 2012-2017, terutama setelah Ahok dilantik menjadi gubernur pada Oktober 2016 dan digantikan Djarot pada Juni 2017 karena dipenjara akibat kasus penistaan agama, Jakarta sangat hingar bingar akibat perilaku Ahok yang arogan, kasar dan sewenang-wenang dalam memerintah, termasuk dalam merotasi pejabat.
"Ahok juga membuat kebijakan-kebijakan yang seharusnya telah membuat KASN yang sesuai UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN berwenang untuk mengawasi dan memgevaluasi kebijakan Ahok dalam merotasi pejabat, menindaknya. Tapi mengapa waktu itu KASN diam saja? Apa karena Ahok dilindungi Presiden yang notabene merupalan para komiisoner KASN? Padahal akibat kesewenang-wenangan Ahok dalam melakukan mutasi, dampaknya sangat terasa bagi warga Jakarta," katanya.
Rico membeberkan dampak dimaksud. Antara lain, banyak pejabat yang tidak profesional karena diangkat untuk posisi yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman, karena tetap dilantik meski tidak lolos tes, dan karena diangkat untuk posisi yang tidak sesuai golongan dan kepangkatannya.
Di sisi lain, pejabat yang berpengalaman, profesional dan berprestasi, distafkan jika dianggap tidak patuh dan tidak sesuai dengan keinginan atau orientasi Ahok.
"Itu sebabnya di era Ahok, opini yang diberikan BPK atas pengelolaan keuangan DKI selalu WDP (wajar dengan pengecualian) karena banyak sekali masalah, seperti penyerapan anggaran yang rendah dan banyaknya temuan, seperti temuan kasus pembelian lahan RS Sumber Waras, pengadaan UPS, pembelian lahan milik Dinas Kelautan di Cengkareng, dugaan KKN pada rehab sekolah dan pembangunan Puskesman, dan sebagainya," kata dia.
Atas fakta-fakta ini, Rico mempertanyakan salahkan jika Anies mengganti pejabat-pejabat itu, karena ingin menjadikan Jakarta sebagai kota yang adil, maju dan bahagia warganya?
Aktivis senior ini juga menyesalkan perilaku Ombudsman yang seolah tutup mata meski ketika Ahok jadi gubernur, banyak kebijakan Ahok yang bersentuhan dengan domain Ombudsman, yakni di bidang pelayanan publik, yang layak dikritik, bahkan ditindak minimal dengan teguran. Di antaranya penggusuran warga Bukti Duri di saat Pemprov DKI masih bersengketa dengan warga di pengadilan.
"Tapi ketika Anies menutup Jalan Jatibaru, tanpa diminta pun Ombusman turun gunung," katanya.
Rico pun mengingatkan kalau para komiisoner KASN dan Ombudsman digaji dari uang rakyat, bukan dari uang Ahok maupun kroni-kroninya. Maka, bekerjalah dengan profesional, adil dan independen.
"Jangan jadi pahlawan kesiangan untuk sesuatu atau untuk orang yang sebetulnya memang tak perlu dibelain dan didukung," tegasnya.
Ia menilai, tindakan ke-13 pejabat yang melaporkan Anies ke KASN, lebih pada kepentingan politik dibanding masalah prosedural seperti yang dijadikan alasan, karena kalau ditinjau dari sisi kinerja, mereka memang layak dicopot.
"Saya menjadi aktifis di Jakarta sejak 1980-an, tapi baru kali ini ada pejabat yang melapor karena dicopot. Padahal, hak mengangkat dan memberhentikan merupakan hak prerogatif gubernur yang juga merupakan Pejabat Pembina Kepegawaian," katanya.
Ia pun berharap KASN tidak menggunakan jurus Dewa Mabok seperti Ombudsman agar Anies dapat diberikan sanksi atas kebijakannya, dan tidak ikut-ikutan bergaya seperti halnya Klan Ahok.
"KASN jangan ikut-ikutan menggembosi pemerintahan Anies yang kami nilai sudah pada tracknya. Izinkan Anies meralisasikan janji-janjinya, seperti dia merealisasikan janji menutup hotel mesum Alexis, menghentikan reklamasi, merealisasikan Program OK OCE, Program Rumah DP 0 Rupiah, dan lain-lain," katanya.
Seperti diketahui, pada 5 Juli Anies melantik 20 pejabat dan sehari kemudian mencopot 29 pejabat, termasuk yang jabatannya telah diisi pejabat lain saat pelantikan pada 5 Juli. Di antara mereka terdapat lima walikota dan bupati Kepulauan Seribu.
Kemudian, 13 dari pejabat yang dicopot melaporkan Anies ke KASN, dan KASN saat ini sedang mempelajari laporan mereka.
"Semua pelapor rata-rata kurang lebih mengutarakan alasan yang sama, yakni karena dicopot dengan cara-cara yang tidak prosedural," jelas Komisioner KASN Made Suwandi kepada harianumum.com melalui telepon, Kamis (19/7/2018).
Pengamat Kebijakan Publik Amir Hamzah mengatakan, proses rotasi yang dilakukan Anies sebetulnya telah sesuai prosedur, karena sebelum rotasi dilakukan, Anies telah berkirim surat kepada DPRD untuk mengonsultasikan penggantian lima walikota dan bupati Kepulauan Seribu, sesuai ketentuan Tata Tertib (Tatib) DPRD dan UU No 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta.
"Atas surat itu, pada 4 Juli 2018 DPRD mengundang para calon walikota dan bupati untuk menyampaikan visi misinya. Jadi, secara prosedural, cara Anies melakukan rotasi telah benar," katanya, Selasa (17/7/2018).
Data yang diperoleh harianumum.com menyebutkan, DPRD mengundang para calon walikota dan bupati untuk menyampaikan visi misinya pada 4 Juli 2018, melalui surat bernomor 069/-071.18 yang ditandatangani Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi.
Dalam surat yang ditujukan kepada para wakil ketua DPRD, para pimpinan Fraksi DPRD dan para pimpinan Komisi DPRD itu disebutkan bahwa acara penyampaian visi dan misi para calon walikota administrasi dan bupati administrasi Kepulauan Seribu itu diselenggarakan pada pukul 15:30 WIB di ruang rapat Ketua Dewan di lantai 10 Gedung DPRD DKI, setelah rapat paripurna.
Surat itu teken pada hari yang sama dengan saat acara penyampaian visi misi diselenggarakan, yakni 4 Juli 2018, dan bersifat SEGERA. (rhm)