Jakarta, Harian Umum - Sejumlah organisasi pemantau Pemilu, Sabtu (17/2/2024) di Jakarta, membongkar modus-modus kecurangan Pemilu 2024, khususnya Pilpres, baik di dalam maupun luar negeri.
Wahyu Susilo dari Migrant Care mengungkap kalau ribuan WNI di Kuala Lumpur, Malaysia; dan Hongkong, tidak dapat mencoblos yanh diselenggarakan pada 11 Februari 2024 akibat peralihan sistem pemilihan dari TPS melalui pos.
"Banyak pemilih yang tidak mengetahui kalau namanya terdaftar dalam sistem pos, sehingga mereka berbondong-bondong ke TPS dan tidak bisa memilih," katanya.
Migrant Care mencatat, awalnya 72.000 pemilih tercatat sebagai pemilih di TPS. Dari jumlah itu, sebagian besar dialihkan ke sistem pos, sehingga yang terdaftar sebagai pemilih di TPS hanya tersisa 2.390 orang.
"Yang dialihkan ke sistem pos tidak tahu, sehingga tetap ke TPS di KJRI, dan tidak bosa mencoblos. Akhirnya, hanya 752 orang yqng nyoblos atau sekitar 25%," katanya.
Wahyu menegaskan bahwa metode pos riskan praktik penggelembungan suara, kecurangan dan perdagangan surat suara.
"Metode pos sebaiknya dihapus," tegas dia.
Ia juga mengungkap tentang adanya anomali jumlah pemilih, karena pada tiga Pemilu terakhir, jumlah pemilih dalam DPT turun terus.
Pada Pemilu 2014, jumlah pemilih yang tercatat di DPR sebanyak 2,5 juta; pada Pemilu 2019 turun menjadi 2,3 juta; dan pada Pemilu 2024 ini merosot lagi menjadi hanya 1,7 juta.
"Ini berbanding terbalik dengan aktivitas KPU yang bolak balik melakukan Bimtek (bimbingan teknis) ke luar negeri, karena nyatanya jumlah pemilh turun terus," katanya.
Selain peralihan sistem dari TPS ke pos, Migrant Care juga menemukan banyak WNI yang sudah pulang ke Tanah Air, tapi masih tercantum di DPT luar negeri.
"Juga ada WNI di luar negeri yang tidak ada dalam DPT, karena namanya masih tercantum dengan paspor yang sudah expired," katanya.
Selain itu, Migrant Care juga menemukan adanya pemilih ganda di New York dan Johor Baru, Malaysia.
"Pemilih ganda ini berpotensi menimbulkan penggelembungan suara," tegasnya. (rhm)