Jakarta, Harian Umum - Direktur Utama (Dirut) PAM Jaya Erlan Hidayat mengatakan, restrukturisasi perjanjian kerjasama (PKS) antara BUMD yang dikelolanya dengan PT Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), rampung Maret 2018.
"Sekarang masih proses," katanya kepada pers di Jakarta, Kamis (30/11/2017).
Ia memastikan bahwa kerja sama dengan dua mitra swasta ini akan berlanjut hingga PKS berakhir pada 2023, karena putusan Mahkamah Agung (MA) atas gugatan Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ), dan dibacakan pada 10 Oktober 2017, tidak membatalkan kerjasama tersebut.
Di pengadilan tingkat pertama, hakim mengabulkan seluruh gugatan KMMSAJ, tapi di tingkat banding di Pengadilan Tinggi (PT), seluruh gugatan ditolak.
"Di tingkat kasasi di MA, gugatan hanya dikabulkan sebagian, dan putusan MA ini, menurut pendapat pakar hukum Abdul Hakim Garuda Nusantara, sebenarnya justru menguatkan kerjasama PAM Jaya dengan Aetra dan Palyja," katanya.
Gugatan yang ditolak MA adalah gugatan agar kerjasama dibatalkan, dan surat jaminan dari pemerintah pusat dan Pemprov DKI atas kerja sama itu juga harus dibatalkan.
Gugatan yang dikabulkan MA di antaranya menyatakan bahwa pemerintah telah lalai, sehingga kerja sama itu tak hanya merugikan Pemprov DKI, tapi juga masyarakat Jakarta; kerjasama tersebut melanggar hukum; dan mengembalikan masalah swastanisasi ini pada Perda No 13 Tahun 1992 tentang Pengelolaan Air Bersih.
"Nah, di Perda ini, pada pasal 45 diatur bahwa PAM Jaya boleh bekerjasama dengan swasta, baik dalam negeri maupun luar negeri," imbuh Erlan.
Ia mengakui kalau berdasarkan penilaian pakar hukum Abdul Hakim Garuda Nusantara, putusan MA itu lebih bersifat declaratoir atau retorika, dan tak dapat dieksekusi karena putusannnya justru malah memperkuat kerjasama PAM Jaya dengan Aetra dan Palyja.
Meski demikian Erlan mengatakan, PAM Jaya belum menganggap final penilaian pakar hukum tersebut, karena pihaknya juga meminta legal opinion dari Kejaksaan.
"Saat ini kami sedang menunggu legal opinion dari kejaksaan tersebut," imbuhnya.
Seperti diketahui, sejak pengelolaan air bersih di Jakarta diserahkan kepada swasta pada 1997, di era Gubernur Sutiyoso, Ibukota gaduh terus.
Pasalnya, selain kerjasama itu dinilai hanya merugikan Pemprov DKI, kedua mitra swasta tersebut juga menjalin kerjasama dengan tanpa modal, sehingga infrastruktur yang digunakan pada awalnya seluruhnya milik PAM Jaya.
Tak hanya itu, layanan kedua mitra itu pun sering dikeluhkan karena air yang disalurkan ke rumah warga sering tersendat, bau dan bahkan pernah kotor.
Karena masalah-masalah inilah KMMSAJ menggugat, karena mereka ingin pengelolaan air bersih kembali dikelola Pemprov DKI melalui PAM Jaya.
Meski demikian Erlan memastikan bahwa setelah PKS direstrukturisasi, tak ada lagi pihak yang dirugikan karena klausul-klausul dalam PKS yang dinilai hanya menguntungkan mitra swasta, telah direvisi.
Selain itu, restruktur PKS juga merupakan persiapan bagi PAM Jaya untuk kembali melayani masyarakat secara langsung.
Erlan mengakui kalau saat ini PAM Jaya masih dikenai service charge sebesar Rp7.700/m3 air oleh Palyja dan Rp6.600/m3 air oleh Aetra, namun kedua operator ini dikenai empat kewajiban, yakni mengelola air baku, mengelola water treatment, mengelola pelanggan, dan mengelola jaringan pipa. (rhm)