Jakarta, Harian Umum - Mark up atau penggelembungan perolehan suara Paslon 02 pada Pilpres 2024, yaitu Prabowo-Gibran, di Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU memang luar biasa.
Hal itu terlihat dari data perolehan suara 02 di Sirekap sebagaimana diungkap Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Anthony Budiawan, Rabu (28/2/2024).
Dari dokumen yang dikirimkan berdasarkan hasil rekapitulasi pada 16 Februari 2024, diketahui kalau dari 65 kabupaten/kota yang dilacak sebagai sampel, suara 02 menunjukkan adanya penggelembungan antara 5 hingga 561.000 suara.
Penggelembungan 5 suara untuk 02 di Sirekap terjadi di TPS 05 Kelurahan Tegaltirto Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Provinsi Yogyakarta. Di TPS ini 02 memperoleh suara 141 suara, tetapi di Sirekap tereta 146.
Penggelembungan hingga 561.000 suara untuk 02 di Sirekap terjadi di TPS 02 Kelurahan Kenteng, Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah. Dari TPS ini belum ada Formulir C1 yang diunggah, tetapi di Sirekap perolehan suara 02 tertulis 561.000.
Di Sirekap juga tertulis kalau di TPS 35 Kelurahan Bantur, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Paslon 02 memperoleh 136.188 suara, padahal di Formulir C1 perolehan 02 hanya 136 suara, sehingga terjadi penggelembungan suara hingga 136.052 suara.
Di TPS 348 Kinabalu, Malaysia, berdasarkan Formulir C1, Paslon 02 hanya memperoleh 102 suara, tetapi di Sirekap tertera 86.309 suara, sehingga terjadi mark up 86.207 suara.
Di TPS 27 Kelurahan Wagom, Kecamatan Pariwari, Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat, berdasarkan Formulir C1 perolehan suara 02 hanya 116, tetapi di Sirekap tercatat 1.166, sehingga terjadi mark up 1.050 suara.
Di TPS-TPS lain yang tersebar di Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Aceh, Banten, Gorontalo, Lampung, Papua, luar negeri, dan Sumatera Utara, penggelembungan suara rata-rata di angka ratusan, bahkan ada yang mencapai 902 suara. Ini terjadi di TPS 01 Kelurahan Titi Pasar, Kecamatan Semadam, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh.
Di TPS ini, bila merujuk pada Formulir C1, Paslon 02 hanya mendapat 71 suara, tetapi di Sirekap tertera 973.
Meski demikian, Sirekap juga mengurangi perolehan suara 02 di satu TPS, yakni TPS 07 Kelurahan Manasah Papeun, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Di TPS ini 02 memperoleh 247 suara, tetapi di Sirekap tereta 246, sehingga terjadi pengurangan 1 suara.
Total penggelembungan suara untuk 02 di 65 kebupaten/kota yang menjadi sampel, setelah dikurangi pengurangan 1 suara di TPS 07 Kelurahan Manasah Papeun mencapai 817.058 suara.
Dari dokumen itu juga diketahui kalau kesalahan input data itu ada yang telah ditindaklanjuti oleh KPU, belum ditindaklanjuti dan masih diproses.
Anthony mengatakan, kesalahan perhitungan suara tersebut hampir dapat dipastikan bukan kesalahan biasa, bukan kesalahan input data oleh petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara), bukan kesalahan manusia (human error), dan juga bukan kesalahan sistem membaca data, seperti klaim KPU.
"Tetapi, kesalahan perhitungan suara ini nampaknya dipabrikasi oleh Sistem IT KPU secara otomatis, sistematis, dan masif melalui program dan algoritme, sehingga masuk kategori kejahatan IT dan kejahatan Pemilu yang terorganisir dan terencana sejak awal. Kalau terbukti, perbuatan ini termasuk pidana sangat berat. Mungkin bisa diancam hukuman mati," kata Anthony dalam tulisan yang dikirim kepada harianumum.com.
Anthony berargumen, setiap petugas KPPS pasti tahu kalau jumlah pemilih per TPS maksimal hanya 300 pemilih (sura), sehingga tidak mungkin ada petugas KPPS yang berani bertindak nekat memanipulasi perolehan suara di TPS secara brutal, dengan meng-input total perolehan suara lebih dari 300.
"Karena, manipulasi seperti ini sama saja dengan bunuh diri, karena pasti langsung ketahuan dan bisa dipidana," tegas Anthony.
Di lain sisi, lanjut Anthony, kesalahan perolehan suara di Sistem IT KPU tersebut sangat luar biasa besar, bisa jauh lebih besar dari angka maksimal 300 per TPS, sehingga ia meyakini kesalahan seperti itu tidak masuk akal dilakukan oleh petugas KPPS.
"Artinya, kesalahan, tepatnya kejahatan, seperti itu tidak bisa tidak, diproduksi dan dipabrikasi oleh algoritme secara otomatis. Karena itu, jumlah suara per TPS di Sistem IT KPU dengan sengaja tidak dibatasi 300, agar program bisa melakukan simulasi perolehan suara sesuai target persentase yang ditetapkan. Tentu saja, Sistem IT KPU yang tidak membatasi jumlah suara per TPS sangat tidak normal, dan menunjukkan ada niat jahat untuk melakukan kecurangan Pemilu," tegas dia.
Menurut ekonom dan.pemerhati politik ini, Sistem IT yang baik seharusnya dapat mengeliminasi kemungkinan human error.
"Sebaliknya, Sistem IT KPU ini sengaja memberi fasilitas untuk melakukan kesalahan, secara sistem, yang kemudian dilabelkan sebagai human error," kata dia.
Karena itu, Anthony meminta Sistem IT KPU segera diaudit forensik, karena audit forensik merupakan sebuah keharusan untuk mencari keadilan dan kebenaran, agar kesalahan dan kejahatan pemilu melalui IT tidak terjadi lagi di masa depan.
"Sambil menunggu audit forensik, Sistem IT KPU harus dihentikan, dan tidak boleh digunakan lagi," pungkas dia. (rhm)