Jakarta, Harian Umum - Tim Advokasi Penggugat kasus PIK-2 Juju Purwantoro mengingatkan pemerintah dan aparat terkait bahwa persoalan di Kabupaten Tangerang, Banten, bukan hanya laut yang dipagari dan dikavling-kavling dengan sertifikat HGB dan SHM, tapi juga sungai dan tambak/empang yang diurug pengembang PSN PIK-2.
"Pagar laut berupa patok- patok bambu sepanjang 30,16 kilometer di Kabupaten Tangerang yang menghebohkan dan membentang di 16 desa dalam 6 kecamatan sedang dibongkar Kementerian ATR/BPN, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan TNI dengan dibantu nelayan setempat, akan tetapi tidak bisa dilupakan yang masih menjadi 'residu' dari persoalan ini adalah pengurugan sungai dan empang masyarakat setempat," kata Juju melalui siaran tertulis, Sabtu (25/1/2025).
Ia menyebut, sungai yang diurug di antaranya yang melintasi Desa Kronjo.
"Sungai itu diurug pengembang PIK-2, yakni Agung Sedayu Group, untuk pembangunan perumahan beserta sarana dan prasarananya, dan mengurugan itu dilakukan secara brutal karena tanpa mempertimbangkan bahwa sungai merupakan aset negara dan berfungsi mengalirkan air dari hulu (kawasan Bogor, Jabar) ke hilir (Pantura Tangerang)," kata Juju.
Sementara pengurugan Empang, kata dia, mematikan usaha warga yang selama ini mengandalkan hidupnya dari budidaya ikan, udang dan lainnya.
Selama ini, kata Juju, aparat berwenang di Kabupaten Tangerang maupun Provinsi Banten, seperti gubernur, bupati, camat, kepala desa, dan instansi terkait di tingkat pusat seperti KKP dan Kementerian ATR/BPN, Jjuga aparat penegak hukum seperti Kepolisian, terkesan diam membisu, seolah tidak terjadi apapun.
Bahkan, sambung dia, tidak ada pengawasan dan sanksi yang dijatuhkan kepada pihak pengembang, meskipun sebagaimana halnya pemagaran laut dan penerbitan HGB dan SHM, pengurugan sungai merupakan sebuah pelanggaran. Begitupun dengan pengurugan empang yang dilakukan sepihak, sebelum adanya transaksi jual beli antara pemilik dengan pengembang.
"Dan tak hanya itu, juga terjadi penyerobotan paksa atas lahan sawah, kebun dan empang milik warga," imbuh Juju.
Advokat ini membeberkan, jika warga yang empangnya diurug dan lahannya diserobot memprotes atau mengajukan keberatan, mereka diintimidasi, dan bahkan diproses hukum hingga dipenjarakan sebagaimana dialami Charlie Chandra, ahli waris Sumita Chandra pemilik lahan seluas 8,71 hektar di Desa Lemo, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, yang terpaksa "menyerahkan" tanah itu kepada PIK-2 setelah dipenjara selama 2 bulan karena dituduh melakukan pemalsuan dokumen.
"Pengurugan sungai masuk kategori perusakan alam dan melanggar UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Siapapun pelakunya tanpa pandang bulu harus dikenakan sanksi pidana penjara dan denda," tegas Juju.
Juju menjelaskan, kerusakan alam yang timbul akibat pengurugan sungai bukan saja mengganggu aliran air menuju laut, akan tetapi juga dapat merusak ekosistem di sepanjang aliran sungai yang diurug, mengganggu kehidupan masyarakat karena dapat menyebabkan banjir lokal, mengurangi pasokan air bersih, dan mengancam mata pencaharian petani tambak dan nelayan.
Kerusakan ekosistem yang terjadi akibat pengurugan sungai antara lain rusaknya habitat ikan dan mengganggu ekosistem mangrove.
"Jika penimbunan atau pengurugan terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS) yang merupakan sumber daya air, maka dapat melanggar hukum yang diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air," imbuh Juju.
Ia mengingatkan bahwa tanah atau lahan merupakan salah satu aset penting dalam kehidupan manusia, karena setiap manusia membutuhkan tanah sebagai tempat tinggal maupun tempat usaha.
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dijelaskan bahwa Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa dan rakyat Indonesia mempunyai hak menguasai atas bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, termasuk juga pemeliharaan tanah.
Hal tersebut seperti yang diamanatkan dalam ketentuan Pasal 2 UU No.5 Tahun 1960 yang menyatakan bahwa negara dalam pengertian sebagai suatu organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat untuk mengatur masalah pertanahan. Kedudukan negara sebagai penguasa tidak lain adalah bertujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat adil dan makmur.
Negara juga diberi kewenangan untuk mengatur mulai dari perencanaan, penggunaan, menentukan hak-hak yang dapat diberikan kepada seseorang. Negara juga wajib mengatur hubungan hukum antara orang-orang sampai perbuatan-perbuatan hukum yang berkaitan dengan tanah.
Ketentuan Pasal 1 angka (11) UU Sumber Daya Alam dan Pasal 1 angka (7) Permen PUPR No.28/ 2015 menjelaskan bahwa wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air, dan termasuk di dalamnya tanah sempadan sungai. Garis sempadan yang dimaksud diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai di mana pasal 5 hingga pasal 17 ialah 0-20 meter dari bibir sungai atau sempadan dilarang untuk dibangun.
Sungai yang berada di perbatasan Desa Kronjo dan Muncung, Banten, diurug rata dengan tanah yang diduga dilakukan oleh pengembang proyek PIK 2 (PT. Agung Sedayu).
Dalam PP No.35 Tahun 1991 tentang Sungsi, juga diatur larangan menimbun sungai, dan pasal 3 ayat (1) PP No. 35 Tahun 1991 tegas menyatakan bahwa sungai dikuasai oleh Negara, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah.
Sungai maupun bantarannya tidak bisa diambil alih dan dikuasi oleh pihak swasta seperti perusahaan PT. Agung Sedayu.
Sungai merupakan salah satu ekosistem pengairan yang dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama aktifitas manusia di daerah aliran sungai. Hal itu jelas diatur dalam Pasal 7 UU Sumber Daya Air (SDA) yang menyatakan bahwa :"Sumber Daya Air tidak dapat dimiliki dan/atau dikuasai oleh perseorangan, kelompok masyarakat, atau badan usaha".
Aparat instansi negara seperti KKP, Kementerian BPN/ ATR, Pemprov Banten dan oknum kepolisian yang terlbat dalam kasus pengurugan sungai harus diproses hukum.
Anggota legislatif, baik DPRD Banten maupun (DPR dan DPD dari Dapil Banten harus proaktif atas kasus ini. Jika sikap Presiden Prabowo tegas dalam kasus pemagaran laut, maka diharapkan Presiden tegas pula dalam kasus pengurugan sungai dan Empang, karena ini masuk kategori penyerobotan lahan. []







