Jakarta, Harian Umum - Emak-emak yang tergabung dalam Koalisi Nasional Perempuan Indonesia (KNPRI) dan aktivis dari Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) menggeruduk Kejaksaan Agung (Kejagung), Rabu (12/3)2025).
Mereka memprotes tindakan korps Adhyaksa itu yang dinilai terlalu cepat menyatakan Menteri Erick Thohir tidak terlibat dalam korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
Mereka curiga telah ada "kesepakatan" antara Jaksa Agung ST Burhanuddin dengan Erick, karena sebelum Kejagung menyatakan Menteri BUMN itu tidak terlibat, sekitar pukul 23:00 WIB, Erick mendatangi Kejagung.
'Kalau menurut kabar di Medsos, Bapak Jaksa Agung dikasih rumah mewah di Singapura oleh Erick Thohir untuk istrinya yang kelima, betul nggak Pak?" tanya Ketua KNPRI Merry Samiri dari atas mobil komando.
Ia mengingatkan, jika Kejagung tidak menjadikan Erick sebagai tersangka, maka Jaksa Agung telah melakukan korupsi dari korupsi.
"Karena Bapak menerima suap atau gratifikasi dari kasus yang bapak tangani!" kata Merry lagi.
Ia juga mengingatkan Kejagung bahwa berdasarkan informasi yang beredar di media sosial, Erick dapat jatah Rp50 miliar per bulan dari korupsi minyak mentah.
Bahkan Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Karyoto, kata Merry dengan masih mendasarkan pada berita di Medsos, mendapat jatah Rp25 miliar per bulan.
"Makanya, Pak Jaksa Agung, untuk memastikan apakah informasi itu benar atau tidak, periksa dulu si Erick! Jangan belum diperiksa sudah dinyatakan tidak terlibat! Kejaksaan Agung kok jadi juru bicaranya Erick!" kritik Merry dengan pedas.
Hal senada dikatakan Ketua FUIB Rahmat Himran. Ia juga mengkritik tindakan Kejagung yang telah menyatakan Erick tidak terlibat sebelum diperiksa dan di-BAP (Berita Acara Pemeriksaan).
Untuk itu, baik Merry maupun Rahmat sepakat bahwa Presiden Prabowo Subianto harus mencopot Jaksa Agung, karena tindakannya telah melukai hati rakyat. Apalagi karena modus korupsi ini sangat keterlaluan, yakni mengoplos Pertalite menjadi seolah-olah Pertamax dan ini terjadi bertahun-tahun, dari 2018 hingga 2023.
"Kalau Kejagung menghitung kerugian negara atas korupsi ini sebesar Rp193,7 triliun per tahun, berapa kerugian yang ditanggung rakyat atas selisih harga Pertamax dengan Pertalite, karena Pertamax yang dibeli ternyata Pertalite yang dioplos! Belum lagi mobil dan motor yang rusak karena bertahun-tahun menggunakan Pertamax Oplosan!" kata Merry.
Semula, pihak Kejagung akan menerima perwakilan demonstran, akan tetapi karena mereka tidak punya peess rilis atau tuntutan secara tertulis yang harus disampaikan, akhirnya batal. (rhm)