Jakarta, Harian Umum - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) memperkirakan, sejak 2018 hingga 2023 sebanyak 8,5 juta warga kelas menengah 'turun kasta' menjadi calon warga kelas bawah.
Dalam riset berjudul 'Macroeconomics Analysis Series Indonesia Economic Outlook Triwulan III-2024', LEPM Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI menyebut, kondisi ini membuat jumlah penduduk kelas menengah Indonesia hanya sekitar 18,8% atau 52 juta jiwa dari total populasi di Indonesia saat ini.
"Pada tahun 2023, kelas menengah di Indonesia mencakup sekitar 52 juta jiwa dan mewakili 18,8% dari total populasi. Namun, jumlah penduduk kelas menengah baru-baru ini mengalami penurunan (jika dibandingkan dengan 2018 lalu)," tulis laporan itu seperti dikutip Senin (12/8/2024).
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan, ada sejumlah faktor yang membuat banyak warga kelas menengah Indonesia turun kasta. Salah satunya, kehabisan uang setelah makan tabungan.
Menurut dia, fenomena banyaknya warga RI kehabisan uang setelah makan tabungan, terjadi karena jumlah pendapatan tidak sebanding dengan pengeluaran. Apalagi karena kelas menengah umumnya memiliki biaya hidup (living cost) yang tinggi.
Akibatnya, untuk menutupi living cost tersebut, tabungan pun tersedot, tetapi hal ini hanya bisa berlangsung pada 1-2 tahun, sehingga setelahnya banyak dari mereka tidak kuat lagi dan turun kelas.
"Tingkat pendapatan mereka secara relatif tidak mampu menopang tingkat pengeluaran mereka. Jadi, peningkatan pendapatan memang naik, tetapi pengeluaran mereka jauh lebih besar, sehingga akhirnya makan tabungan, dan lama kelamaan nggak kuat, akhirnya turun kelas," kata Tauhid kepada detikcom.
Selain hal itu, Tauhid mengatakan kalau banyaknya warga kelas menengah RI yang turun kasta diakibatkan oleh sedikitnya jumlah lapangan pekerjaan formal yang jumlahnya, menurut dia, dari kelas menengah hanya sekitar 40% dan sisanya diisi oleh kelompok pekerja informal.
Padahal, jelas Tauhid, secara umum upah pekerja formal ini lebih stabil dan lebih besar daripada pekerjaan informal. Kondisi ini membuat upah rata-rata warga kelas menengah turun.
"Saya kira memang setelah.pandemi COVID itu, penciptaan lapangan pekerjaan formal semakin sedikit sedangkan informal semakin banyak. Padahal, upah pekerja formal rata-rata lebih tinggi dari informal. Akibatnya, upah rata-rata kelas menengah ini menjadi semakin kecil," imbuh Tauhid.
Hal senada dikatakan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira. Ia mengatakan, banyak faktor yang membuat banyak warga RI kelas menengah turun kasta, termasuk di antaranya karena kurangnya lapangan kerja formal.
"Satu karena pasca-pandemi pencarian kerja terutama di sektor formal tuh semakin menyempit. Kalaupun ada ya di sektor informal dengan ketidakpastian yang tinggi, upah yang rendah," katanya kepada detikcom.
Kedua, lanjut dia, efek dari UU Cita Kerja yang tidak mampu menarik investasi padat karya di Indonesia. Bahkan dengan adanya UU Cita Kerja, daya beli kelas menengah turun, karena kenaikan upah minimumnya sangat kecil (dibandingkan kenaikan biaya untuk kebutuhan hidup).
"Faktor ketiga disebabkan oleh meningkatnya harga pangan dari tahun ke tahun yang tidak disertai kenaikan upah yang sesuai. Kemudian faktor suku bunga yang relatif tinggi. Ini juga menekan kelas menengah, karena biaya cicilan jadi naik, pinjaman modal usaha juga meningkat bunganya, bebannya," imbuh Bhima.
Kondisi-Kondisi inilah yang kemudian banyak membuat banyak warga RI harus makan tabungan untuk menutup kebutuhan sehari-hari. Setelah tabungan itu habis, mereka mau tak mau harus turun kasta jadi calon kelas menengah dan kelompok rentan. (man)


