Jakarta, Harian Umum - Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menilai, mereka yang ingin merampas tanah warga Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau,, demi investasi adalah penjajah.
"Investasi adalah motor pertumbuhan ekonomi: sumber kemakmuran. Tanpa Investasi, lambat laun rakyat akan menjadi lebih miskin," kata Anthony melalui akun Twitter-nya, Minggu (10/9/2023).
Karena hal tersebut, lanjut dia, rakyat menyambut investasi dengan suka cita, gembira, karena terbayang masa depan yang sejahtera.
"Tetapi ketika atas nama investasi, rakyat dimiskinkan, kehilangan tanah dan sumber nafkah, bahkan sampai dipenjara, maka investasi hanya menjadi kedok untuk merampok hak rakyat, untuk merebut tanah leluhur masyarakat adat setempat yang sudah ditempati puluhan, bahkan ratusan tahun. Mereka tidak beda dengan penjajah. Mereka adalah Penjajah!" tegas dia.
Seperti diketahui, ribuan warga Pulau Rempang terancam digusur karena pulaunya akan dijadikan kawasan industri, perdagangan hingga wisata bernama Rempang Eco-City. Rencana pengembangan Rempang Eco-City mencuat pada 2004 setelah pemerintah, melalui BP Batam dan Pemerintah Kota Batam, menggandeng PT Makmur Elok Graha, anak perusahaan milik Tommy Winata, sebagai pengembangnya.
Dalam perkembangannya, proyek ini masuk daftar Proyek Strategis Nasional 2023. Hal itu tertuang dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.
Beleid itu diteken oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada 28 Agustus 2023 lalu.
Mengutip situs BP Batam, kawasan ekonomi ini rencananya dikembangkan di lahan seluas 7.572 hektare atau sekitar 45,89 persen dari total luas Pulau Rempang 16.500 hektare.
Pengembangan Pulau Rempang mencakup kawasan industri, perdagangan, hingga wisata yang terintegrasi di sana agar bisa bersaing dengan negara tetangga, Singapura dan Malaysia.
BP Batam memperkirakan investasi pengembangan Pulau Rempang mencapai Rp381 triliun dan akan menyerap 306 ribu tenaga kerja hingga 2080. Hal ini diharapkan bisa berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi setempat.
Kawasan Rempang juga akan menjadi lokasi pabrik kaca terbesar kedua di dunia milik perusahaan China Xinyi Group. Investasi proyek itu diperkirakan mencapai US$11,6 miliar atau sekitar Rp174 triliun.
Pada Juli lalu, Xinyi International International Investment Limited dan PT Makmur Elok Graha telah menandatangani nota kesepakatan (Memorandum of Agreement) terkait rencana investasi itu di Chengdu, China.
Kendati demikian, sejumlah warga terdampak harus direlokasi demi pengembangan proyek Rempang Eco-City. Sebagai kompensasi, Kepala BP Batam Muhammad Rudi mengungkapkan pemerintah menyiapkan rumah tipe 45 senilai Rp 120 juta dengan luas tanah 500 meter persegi.
Pemerintah juga memberikan keringanan lainnya berupa bebas biaya uang wajib tahunan (UWT) selama 30 tahun, gratis pajak bumi dan bangunan (PBB) selama 5 tahun, BPHTB, dan SHGB.
Rumah yang disiapkan berada di tepi laut, sehingga memudahkan masyarakat yang umumnya berprofesi sebagai nelayan untuk melaksanakan aktivitas.
Selain itu, masyarakat yang terdampak pembangunan juga akan mendapat biaya hidup Rp1,03 juta per orang dalam satu KK, sementara masyarakat yang memilih tinggal di ditempat lain akan mendapat bantuan biaya sewa Rp1 juta per bulan.
Namun, masyarakat Rempang yang telah menetap di pulau sejak tahun 1834, menolak digusur, sehingga bentrok dengan aparat gabungan TNI-Polri pada Kamis (7/9/2023) silam.
Sebanyak enam warga Rempang ditangkap, puluhan lainnya mengalami luka-luka, sementara anak-anak sekolah dibubarkan paksa akibat terkena gas air mata yang ditembakkan aparat. (rhm)