Jakarta, Harian Umum - Bakal calon gubernur (Bacagub) dari jalur independen pada gelaran Pilgub Daerah Khusus Jakarta 2024, yakni Komjen Pol (Purn) Dharma Pongrekun, Sabtu (11/5/2024), menggelar diskusi terbuka bertajuk "Tolak Bahaya WHO Pandemic Treaty" di salah satu kafe di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Diskusi ini menampilkan tiga narasumber. Selain Dharma sendiri, dua lainnya adalah pakar kuantum yang juga bakal calon wakil gubernur (Bacawagub) pendamping Dharna pada Pilgub DKI 2024, yakni Dr. ir. Kun Wardana Abyoto MT, dan epidemiolog Prof. Richard Claproth
Peserta yang hadir dalam diskusi ini sangat banyak, lebih dari 130 orang, sehingga semua kursi yang disediakan tidak cukup, sehingga banyak peserta yang mau tak mau harus berdiri.
Diskusi ini juga dimanfaatkan Dharma dan Kun untuk.mendapatkan dukungan dari peserta diskusi, karena syarat menjadi calon dari jalur independen pada Pilgub Jakarta adalah mendapatkan dukungan minimal dari 600.000 warga Jakarta yang dibuktikan dengan penyerahan 600.000 foto copy KTP para pendukung tersebut.
Pandemic Treaty adalah istilah lain dari WHO Convention, Agreement or other International Instrument on Pandemic Prevention, Preparedness and Response (WHO CA+ on PPPR) atau konvensi WHO terkait perjanjian internasional tentang pencegahan, kesiapsiagaan, dan merespon pandemi.
Dharma, Kun dan Richard menegaskan bahwa Pandemic Treaty ini membahayakan kedaulatan dan kesehatan rakyat di negara-negara yang menandatanganinya pada akhir Mei 2024.
"Pandemic Treaty ini tidak murni isu kesehatan, melainkan agenda politik global di mana global ingin mengendalikan setiap negara yang menandatangani Pandemic Treaty, atau dengan kata lain asing ingin mengambil alih kedaulatan negara-negara yang menandatanganinya tanpa.kekuatan.militer, hanya dengan membuat regulasi untuk mengatur setiap pergerakan manusia, sekaligus mengatur jumlahnya," jelas Dharma.
Kun lebih detil menjelaskan mengapa Pandemic Treaty dapat mengancam kedaulatan negara dan kesehatan rakyat di negara yang menandatanganinya.
Menurut dia, jika sebuah negara menandatangani Pandemic Treaty, maka penanganan masalah kesehatan di negara itu ketika terjadi pandemi, sepenuhnya ditangani WHO, sehingga jika negara itu ingin membuat sebuah kebijakan, maka harus lebih dulu berkonsultasi dengan WHO, dan nanti WHO yang menentukan apakah kebijakan itu bisa dilaksanakan atau tidak.
Kun mengonfirmasi tentang akan adanya pandemi baru setelah pandemi Covid-19 yang merajalela pada 2020-2022 silam.
"Pandemi ini bisa.lebih ganas dan lebih mematikan," katanya.
Soal obat-obatan yang harus digunakan selama.pandemi, kata Kun, juga diputuskan oleh WHO.
"Masyarakat kita percaya pada khasiat jamu. Kalau WHO mengatakan bahwa jamu tidak boleh dikonsumsi untuk mengatasi pandemi, maka tidak boleh digunakan," imbuhnya.
Dharma mengungkap bahwa Pandemic Treaty dibuat secara terstruktur, sistematis dan masif, bukan dibuat secara dadakan.
Pandemi Covid-19 yang berjangkit pada 2020-2022, jelas dia, merupakan salah satu alasan dibuatnya Pandemic Treaty, dan semua orang tahu bahwa pandemi itu sengaja diciptakan untuk depopulasi dan mengatur jumlah penduduk dunia.
Dan Pandemic Treaty, tegas dia, dibuat untuk kepentingan menghadapi pandemi-pandemi yang akan datang selanjutnya.
"WHO tidak bekerja sendiri karena ada lembaga lain yang berkantor di Davos, Swiss, yakni WEF atau World Economic Forum," katanya.
Richard mengibaratkan Pandemic Treaty bagaikan eceng gondok yang dapat berkembang biak dengan sangat cepat di sebuah danau, sehingga danau itu mati.
"Saya juga heran kepada pemerintah kita, karena meski kita sudah menyuarakan ini, menggelar unjuk rasa juga, tetapi Pandemic Treaty gak juga dikotak katik. Saya melihat ada dua kemungkinan mengapa pemerintah seperti ini, yaitu pemerintah gak paham atau paham tapi gak peduli," katanya.
Kun dan Dharma juga mengungkap sebuah fakta yang sangat memprihatinkan, karena sanksi bagi rakyat Indonesia yang tidak mematuhi Pandemic Treaty jika kelak perjanjian itu telah ditandatangani Indonesia dan berlaku dalam 30 hari setelah itu. Sebab, sanksi itu ternyata telah tercantum dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Besaran dendanya mencapai ratusan juta rupiah, bahkan miliaran.
Dharma menyebut bahwa Indonesia merupakan salah satu dari 194 negara yang mendukung Pandemic Treaty, sehingga kemungkinan besar akan menandatanganinya.
"Untuk bisa menolak Pandemic Treaty, kita butuh pemimpin yang peduli pada kedaulatan negaranya dan.peduli pada keselamatan rakyatnya," tegas dia. (rhm)