Jakarta, Harian Umum- Klaim pemerintah bahwa 700 Warga negara Indonesia (WNI) bergabung dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) diduga tidak benar.
Pasalnya, pada 2016 lalu The Atlantic memberitakan bahwa WNI yang bergabung dengan ISIS hanya lebih dari 1 orang.
"Dalam beberapa hari terakhir, gemuruh ISIS telah mencapai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Pasukan keamanan Indonesia, negara dengan 200 juta Muslim, memburu pemimpin militan Santoso yang telah menyatakan kesetiaannya kepada ISIS," tulis media tersebut dalam berita berjudul 'ISIS in the World's Largest Muslim Country' dan dipublikasikan pada 3 Januari 2016, seperti dikutip harianumum.com, Minggu (10/6/2018).
The Atlantic menyebut, Polisi Indonesia menangkap sejumlah orang yang diduga sebagai pendukung ISIS, sementara di sisi lain Jaksa Agung Australia mengingatkan bahwa ISIS bermaksud membangun "kekhalifahan" di negara kepulauan yang berada di kawasan Asia Tenggara ini.
Namun media ini menyebut, meski pada Juni 2014 hingga Desember 2015 jumlah pejuang asing yang bepergian ke Suriah dan Irak untuk bergabung dengan ISIS dan kelompok ekstremis lainnya diperkirakan mencapai dua kali lipat, namun yang berasal dari Indonesia relatif sedikit.
"Mengapa?" tanya media tersebut.
Padahal The Atlantic merinci, sejak Indonesia merdeka pada 1945, negara ini mengalami bagian dari gerakan terorisme dan jihad, karena pada 1949 Darul Islam (DI) menganggap Indonesia sebagai negara murtad, dan melakukan pemberontakan.
Pada 1950an dan awal 1960an, sebelum menjadi gerakan bawah tanah, gerakan Islam militan terpecah menjadi beberapa kelompok, dari Laskar Jihad yang memimpin kampanye anti-Kristen di seluruh Indonesia, hingga ke Jamaah Islamiyah yang menjadi pelaku bom Bali pada 2002.
"Jihadis Indonesia tidak hanya fokus pada target lokal karena banyak yang ke Afghanistan untuk menjadi mujahid selama negara itu diinvasi Soviet. Meski selama di sana kebanyakan dari mereka hanya menerima pelatihan daripada terlibat langsung dalam pertempuran," kata Atlantic lagi.
Karena sejarah ini, media asing itu meyakini kalau memang ada basis dukungan untuk ISIS di Indonesia. Laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) yang berbasis di Jakarta, pada September 2014 mengabarkan adanya upaya perekrutan dan propaganda agresif ISIS di Indonesia.
"Konflik di Suriah telah menggugah imajinasi ekstremis Indonesia dengan cara yang tidak pernah ada sebelumnya, mulai dari penderitaan Muslim Sunni di sana, hingga prospek memulihkan kekhalifahan Islam karena fakta bahwa Suriah secara langsung terkait dengan prediksi dalam eskatologi Islam dimana pertempuran terakhir pada akhir zaman akan terjadi di Syam, wilayah yang kadang disebut Greater Syria atau Levant, yang meliputi Suriah, Yordania, Lebanon, Palestina dan Israel," kata Atlantic mengutip laporan IPAC.
Meski demikian, tingkat dukungan kaum militan di Indonesia terhadap ISIS ternyata tidak membuat mereka berbondong-bondong ke Timur Tengah.
Mengutip pernyataan pemerintah Indonesia, Soufan Group melaporkan bahwa WNI yang pergi ke Irak dan Suriah, namun belum tentu menjadi anggota ISIS karena juga bergabung dengan kelompok militan lain, diperkirakan mencapai 700 orang pada Juli 2015. Angka ini dianggap kemungkinan terlalu tinggi karena sebagai perbandingan, angka resmi orang Perancis yang memasuki Irak dan Suriah sebanyak 1.700 orang; dari Rusia 2.400 orang; dari Amerika Serikat 150 orang; dan dari Tunisia 6.000 orang.
Di Prancis, 18 orang dari 1 juta warga Muslim di negara itu diperkirakan bertempur di Suriah dan Irak, menurut penelitian USAID. Dari Tunisia, jumlahnya 280 orang.
"Dari Indonesia, jumlahnya lebih dari satu," kata Atlantic.
Mengapa begitu sedikit orang Indonesia yang bepergian ke Suriah untuk bertempur?
Menurut media itu, karena statistik untuk Indonesia sesuai dengan tingkat di negara-negara tetangganya.
Perkiraan resmi menunjukkan, pejuang asal Malaysia yang bertempur di Irak dan Suriah hanya 100 orang, sementara dari India dengan populasi penduduk Muslim mencapai hanya 177 orang, yang bertempur di Suriah sangat sedikit, hanya 23 orang.
Jajak pendapat juga menunjukkan bahwa persentase orang Malaysia yang bersimpati kepada ISIS dan taktik bom bunuh diri, lebih tinggi dari orang Indonesia. Di India, banyak masyarakat sipil Muslim menolak ISIS dan organisasi teroris Islam lainnya, sehingga hampir 70.000 ulama di sana menerbitkan fatwa anti-ISIS.
Pada November 2015, The New York Times menyebut ada satu faktor yang mampu meredam pengaruh ISIS di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam yang mengklaim memiliki 50 juta anggota.
NU mengajarkan Islam sebagai agama welas asih, inklusivitas, dan toleransi terhadap agama lain, yang bertentangan dengan teologi fundamentalis Wahhabi yang dianut ISIS.
“Kami secara langsung menantang gagasan ISIS, yang ingin Islam menjadi seragam, sehingga mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham dengan mereka, bahkan membunuhnya," kata Yahya Cholil Staquf, Sekjen NU kala itu kepada Times.
Sidney Jones, direktur (IPAC) sepakat bahwa NU telah memainkan peran dalam meminimalkan pengaruh ISIS di Indonesia.
“Gerakan itu benar-benar menjadi benteng terhadap lebih banyak orang yang tertarik oleh ideologi ekstrimis,” kata Jones.
Seperti diketahui, pada 2015, saat ada kabar bahwa seorang WNI dieksekusi mati oleh ISIS, Juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenelu) Arrmanantha Nassi mengatakan kalau jumlah WNI yang bergabung dengan ISIS mencapai ratusan orang.
“Berdasarkan informasi yang kita terima dari Polri, Densus 88 dan BIN, sekitar 500 sampai 700 WNI telah bergabung dengan ISIS,” katanya pada 25 Juni 2015.
Data yang tak jauh berbeda disampaikan mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai pada 5 Juni 2017.
Ansyaad mengatakan bahwa sekitar 700 WNI bergabung dengan ISIS di Suriah, dimana sebanyak 70an di antaranya sudah kembali ke Indonesia pada 2016.
"Saya kira dalam tahun ini (2017) pasti ada lagi yang balik karena situasi di sana (Irak dan Suriah) sudah tidak menguntungkan bagi ISIS. Di Irak, ISIS sudah dideklarasikan kalah. Di Suriah juga pada lari. Jadi otomatis sebagian besar kembali ke negara masing-masing," kata Ansyaad kepada BBC INdonesia.
Ansyaad bahkan meyakini bahwa WNI yang kembali dari Suriah itu memiliki kemampuan merakit bom, sehingga keberadaan mereka harus diwaspadai oleh aparat keamanan.
Reaksi Warganet
Menanggapi beredarnya kembali berita The Atlantic itu di dunia maya, seorang warganet pemilik akun @Elfizal mempertanyakan kesahihan data yang selama ini dilansir BNPT.
"Apa khabar @BNPTRI apakah datamu valid? Nih ada data investigasi asing tentang orang-orang diluar Irak & Suriah yang ikut perang... Ternyata, jumlahnya sangat mencengangkan! Adakah yang sengaja memblow up datanya? Untuk tujuan tertentu? Yuks cari tau ke @BNPTRI dan @DivHumas_Polri," katanya, Minggu (10/6/2018).
Sementara akun #IreneViena mengatakan begini; "Klaim pemerintah RI bahwa terdapat 700 WNI bergabung dengan ISIS, dibantah semua lembaga yang memantau data orang asing yang terlibat perang di Irak - Suriah. WNI terlibat perang di Irak-Suriah mungkin lebih dari 1 orang, tapi mustahil sampai 15 orang". (rhm)