Jakarta, Harian Umum - Migrant Care menyebut,sekitar Rp2,4 miliar uang rakyat terbuang sia-sia akibat buruknya pelaksanaan Pemilu 2024 di Hongkong, China, yang dipicu oleh penyelenggaraan sistem pos.
Menurut Staf Pengelolaan Pengetahuan, Data, dan Publikasi Migrant Care, Trisna Dwi Yuni Aresta, dalam jumpa pers di Jakarta, Sabtu (24/2/2024), daftar pemilih tetap luar negeri (DPTLN) di Hong Kong, mencapai 164.691 dengan dua metode pemilihan, yakni sistem pos di mana surat suara dikirim melalui pos ke alamat pemilih, dan pencoblosan di TPS.
"Dari DPTLN di Hongkong yang mencapai 164.691, yang masuk sistem pos sebanyak 162.301 orang, sementara yang mencoblos di TPS yang pelaksanaannya di KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia) sebanyak 2.390 orang," katanya
Namun, karena sistem tidak tersosialisasi dengan baik, juga karena ada surat suara yang tidak sampai ke alamat pemilih, hanya 66.572 orang yang menggunakan hak pilihnya atau hanya 41,01%, sementara 21.062 surat suara atau 12,97% direturn atau dikembalikan kepada Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), dan surat suara yang tidak dikembalikan sebanyak 58.797 atau 36,2%.
"Berarti jika kita total, ada sekitar 49,07% surat suara (metode pos) yang sia-sia karena tidak digunakan untuk memilih," ujar Trisna.
Ia.mengingatkan bahwa pengiriman surat suara melalui pos tentu memakan biaya. Ia berhitung, jika pengiriman satu surat suara memakan biaya 2 dolar AS, maka jika dikalikan 49% dari DPTLN adalah sekitar 78 ribu.
"Maka kalau kita total ada sekitar Rp 2,3 miliar, hampir Rp 2,4 miliar, terbuang sia-sia karena surat suara tersebut tidak tersalurkan dengan baik," imbuh dia.
Sementara itu, dari 2.390 pekerja di Hongkong yang terdaftar untuk memilih di TPS, hanya 753 orang atau 31% yang menggunakan hak suaranya.
Rendahnya pekerja migran yang memilih di TPS karena tak sedikit dari mereka yang tak tahu namanya masuk sistem.pos, sehingga setelah datang ke TPS, mereka tak bisa mencoblos.
Migran Care meminta agar pemilihan sistem pos diaudit, karena temuan pihaknya menunjukkan kalau selain menghilangkan hak suara pemilih akibat banyak surat suara yang tidak sampai kepada pemilih, juga membuang banyak biaya.
"Apalagi karena metode pos rawan menjadi alat perdagangan surat suara karena pengiriman metode pos tidak bisa ditelusuri," imbuh Trisna.
Saat konferensi pers, Migran Care memutarkan video pengakuan dari TKW di Hongkong yang mengatakan bahwa mereka tidak bisa nyoblos karena surat suara yang dikirim melalui pos tidak sampai ke alamat mereka.
'Tidak sampainya surat suara itu juga perlu ditelusuri, karena para pekerja migran itu selama bertahun-tahun, bahkan ada yang sampai 17 tahun bekerja pada majikan yang sama. Artinya, mereka tidak berpindah-pindah dan alamatnya sama," jelas Trisna.
Atas temuan-temuan di lapangan, Trisna mengaku pihaknya pernah empat kali melaporkan tentang ketidakberesan penyelenggaraan Pemilu di luar negeri kepada Bawaslu, tetapi tidak direspon sebagaimana mestinya. (rhm)