Jakarta, Harian Umum - Kolam penampungan (modified ajkwa deposition area/ModADA) tidak mampu lagi menampung endapan pasir sisa tambang (sedimen)yang dimiliki PT Freeport Indonesia. Endapan tersebut telah meluber hingga sungai, hutan, dan muara.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah meminta sejak tahun lalu segera mengajukan dokumen revisi analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal). tapi belum dipenuhi hingga sekarang.
“Ketika ditanya, perusahaan selalu mengatakan belum. Kami bisa apa?” ujar Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Kehutanan, San Afri Awang, seperti dikutip Tempo.co, Selasa 2 Mei 2017.
Awang mengatakan perubahan amdal harus diajukan Freeport karena Hal inilah, menurut Awang, yang belum terangkum dalam berkas lingkungan Freeport. “Dampaknya ke mana-mana, itu harus ada adendum amdal karena melampaui ruang lingkup wilayah yang sudah disetujui.”
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menganggap Freeport merusak lingkungan karena tumpahan sisa tambang tersebut. Perpanjangan tanggul dan perubahan skema pemanfaatan limbah juga tidak memiliki izin lingkungan. Akibatnya, potensi kerugian lingkungan yang ditimbulkan mencapai Rp 185 triliun.
“Nilai itu adalah hasil kajian dari Institut Pertanian Bogor yang ditelaah BPK dalam konteks keuangan negara,” kata Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Moermahadi Soerja Djanegara.
Persoalan material sisa tambang juga termasuk dalam audit lingkungan yang dilakukan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Teknologi Bandung pada 2014. Dalam dokumen audit yang diperoleh dari situs resmi Freeport, auditor meminta perusahaan membuat kolam penampungan baru. Sebab, area yang ada, yaitu Kelapa Lima dan Pandan Lima, sudah tidak lagi layak menampung sisa material.
Adapun dalam dokumen audit Freeport, disebutkan, keputusan tidak membangun kolam baru merupakan kesepakatan bersama Kementerian. Perusahaan hanya menambah panjang tanggul dan mengubah sistem penanganan material sisa tambang. Perusahaan juga memberi dana kompensasi kepada Pemerintah Kabupaten Mimika dan Pemerintah Provinsi Papua sejak 2011. Dana total yang dikucurkan perusahaan mencapai Rp 343,13 miliar.
Jaringan Advokasi Tambang meminta pemerintah menggelar audit lingkungan terhadap pengelolaan sisa tambang Freeport. Selain Sungai Ajkwa, aktivis menduga Freeport meracuni lima sungai lainnya, yaitu Aghawagon, Otomona, Minajerwi, dan Aimoe, dan Tipuka.
Sebagai ilustrasi, kata Koordinator Kampanye Jatam Melky Nahar, produksi 1 gram emas menghasilkan 2,1 ton material sisa dan 5,8 kilogram emisi beracun berupa logam berat, timbal arsen, merkuri, dan sianida. “Bisa dibayangkan bagaimana kerusakan atas air yang terjadi,” ujar dia.